Perang Dzaturriqa’: Strategi Nabi Muhammad Menghadapi Ghathafan

Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman.
Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh.
Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.”
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.”
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits.
Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar.
Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh.
Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.”
Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas.
Kisah Jabir dengan Untanya yang Lambat
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى
“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ
“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715)
Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba.
Baca juga: Jual Beli Terpaksa
Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’
Pertama:
Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam.
Kedua:
Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya.
Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 Derajat
Ketiga:
Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah.
Keempat:
Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67).
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.”
Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.”
Kelima:
Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Keenam:
Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin.
Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah.
Ketujuh:
Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.”
Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya.
Kedelapan:
Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau.
Kesembilan:
Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini.
Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih
Referensi:
Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.
–
11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Rekening Donasi
Dukung kegiatan dakwah dan sosial kami