Mendidik Anak Di Era Digital

20 jam yang lalu
77
6 menit baca
Mendidik Anak Di Era Digital

Anak-anak kita adalah penduduk asli dunia digital, sedangkan kita hanyalah pendatang.

Apakah kita pernah meluangkan waktu sejenak untuk merenungkan betapa berbeda dunia tempat anak-anak kita tumbuh dibandingkan dengan masa kecil kita? Dulu, kita menghabiskan waktu berjam-jam bermain di lapangan yang luas, menjalin persahabatan melalui interaksi langsung, dan tertidur dengan tenang mendengarkan dongeng sebelum tidur dari orang tua. Sementara itu, anak-anak zaman sekarang terbenam dalam dunia virtual yang penuh warna, berinteraksi dengan karakter-karakter imajinatif dan cerita-cerita menarik melalui platform seperti YouTube dan TikTok.

Mereka adalah digital native, generasi yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan teknologi, yang membentuk cara pandang dan interaksi mereka. Sebaliknya, kita sebagai orang tua dan pendidik adalah digital immigrant, yang berusaha beradaptasi dan memahami dunia yang terus berubah dengan cepat ini. Perbedaan generasi ini sering kali menimbulkan dilema: kita ingin melindungi anak dari bahaya, namun di sisi lain kita juga ingin mereka memanfaatkan kemajuan teknologi. Pertanyaan yang mendesak pun muncul: bagaimana kita dapat membimbing mereka agar tetap aman dan istiqamah di tengah kompleksitas era digital yang serba cepat ini?


1. Fitrah Anak dan Amanah Orang Tua

Rasulullah bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).

Hadis ini mengingatkan kita bahwa setiap anak lahir dengan hati yang suci dan kecenderungan alami untuk menerima kebenaran. Namun, kesucian itu sangat mudah ternoda jika tidak dijaga dengan bimbingan yang tepat. Di era digital saat ini, godaan yang dapat menjerumuskan anak tidak hanya datang dari teman sebaya, tetapi juga dari layar-layar kecil yang selalu mereka genggam, gawai kita dan mereka.

Anak-anak secara alami memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mudah meniru, dan sedang dalam proses menemukan identitas diri, aspek-aspek yang sangat penting bagi perkembangan mereka. Dunia digital dapat berfungsi sebagai alat yang baik atau justru menjadi penghalang dalam proses ini. Oleh karena itu, tanggung jawab orang tua bukan hanya melarang, tetapi juga mengarahkan naluri anak agar tumbuh dalam iman, kejujuran, dan kebaikan.


2. Dunia Digital: Pisau Bermata Dua

Teknologi ibarat pisau bermata dua, dapat sangat bermanfaat jika digunakan dengan bijak, tetapi juga berbahaya jika disalahgunakan. Gadget, internet, dan media sosial dapat membuka akses ke pengalaman berharga: belajar Al-Qur’an melalui aplikasi interaktif, mendengarkan ceramah dari para ulama, atau menemukan konten inspiratif yang mendorong kebaikan. Namun di sisi lain, teknologi yang sama dapat memperkenalkan anak pada hal-hal yang merusak seperti pornografi, kekerasan, dan gaya hidup maksiat yang dinormalisasi.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud bahwa jika engkau membiarkan anakmu tanpa pendidikan yang benar, berarti engkau membantu setan untuk merusaknya.

فَمَنْ أَهْمَلَ تَعْلِيمَ وَلَدِهِ مَا يَنْفَعُهُ، وَتَرَكَهُ سُدًى، فَقَدْ أَسَاءَ إِلَيْهِ غَايَةَ الْإِسَاءَةِ. وَأَكْثَرُ الْأَوْلَادِ إِنَّمَا جَاءَ فَسَادُهُمْ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ، وَإِهْمَالِهِمْ لَهُمْ، وَتَرْكِ تَعْلِيمِهِمْ فَرَائِضَ الدِّينِ وَسُنَنَهُ

"Maka barangsiapa yang mengabaikan pengajaran kepada anaknya tentang apa yang bermanfaat baginya, dan membiarkannya begitu saja (tanpa bimbingan), sungguh ia telah berbuat keburukan yang sangat besar kepadanya. Dan kebanyakan kerusakan anak-anak justru datang dari pihak orang tua mereka, akibat pengabaian mereka terhadap anak-anak, dan akibat mereka tidak mengajarkan anak-anak kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, 1/229)

وَكَمْ مِمَّنْ أَشْقَى وَلَدَهُ وَفِلْذَةَ كَبِدِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ بِإِهْمَالِهِ وَتَرْكِ تَأْدِيبِهِ، وَإِعَانَتِهِ عَلَى شَهَوَاتِهِ

"Dan betapa banyak orang yang telah mencelakakan anaknya, belahan hatinya, di dunia dan akhirat, karena mengabaikannya, tidak mendidiknya, dan membantunya (menuruti) syahwatnya." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, 1/242).

Pernyataan ini sangat relevan di era ini. Membiarkan anak menjelajahi dunia digital tanpa pendampingan sama dengan mengirim mereka ke hutan belantara tanpa peta, penuh kebingungan dan bahaya.


3. Menanam Nilai Sebelum Menetapkan Aturan

Banyak orang tua yang sibuk merumuskan aturan mengenai penggunaan gadget, seperti membatasi waktu layar atau menentukan area bebas gawai. Namun, aturan saja tidak cukup, karena dapat dilanggar saat anak tidak diawasi. Yang jauh lebih penting adalah menanamkan nilai dan keyakinan yang menjadi kompas moral internal, agar anak tetap berada di jalur yang benar meskipun tanpa pengawasan.

  1. Tanamkan Muraqabah (Merasa Diawasi oleh Allah)
    Bangun kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi. Sampaikan dengan lembut kepada anak:
    "Nak, mungkin Ayah dan Ibu tidak mengetahui apa yang kamu tonton, tetapi Allah selalu melihat. Mari kita jaga hati agar tidak melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah."
    Pemahaman ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pribadi yang kuat.
  2. Latih Kemampuan Menyaring Informasi
    Ajak anak untuk berpikir kritis terhadap informasi yang mereka temui di internet. Ingatkan mereka dengan firman Allah:
    وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

    "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya." (QS. Al-Isra: 36)
    Ayat ini mengajarkan anak untuk cerdas dalam menilai kebenaran, bukan sekadar skeptis tanpa arah, tetapi menimbang dengan ilmu dan iman.
  3. Ajarkan Adab di Dunia Digital
    Tanamkan pentingnya adab, baik di dunia nyata maupun maya: jangan memotret tanpa izin, jangan menyebarkan gosip, dan jangan menulis komentar yang menyakitkan. Dulu, kita diajarkan untuk menjaga lisan; kini kita juga harus menjaga jari. Karena satu komentar yang salah di dunia maya bisa sama beratnya dengan ucapan di dunia nyata.

4.  Orang Tua: Jadilah Teladan Sebelum Menjadi Pengatur

Anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang mereka dengar. Jika orang tua asyik menatap layar ponsel saat makan bersama, jangan heran jika anak sulit lepas dari gadget-nya. Jika kita ingin anak menundukkan pandangan, kita pun harus mencontohkannya. Jika kita ingin anak mencintai ilmu, biarkan mereka melihat kita membuka Al-Qur’an, bukan sekadar menggulir media sosial tanpa henti.

Rasulullah adalah teladan terbaik dalam mendidik dan membimbing.

Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian." (QS. Al-Ahzab: 21)

Maka mulailah dari diri kita. Buatlah momen bebas gawai di rumah; saat makan, menjelang tidur, atau ketika berkumpul bersama. Dorong anak untuk berbincang, bermain, dan membangun hubungan nyata, bukan hanya menunggu notifikasi digital.


5. Menyeimbangkan Dunia Nyata dan Dunia Maya

Dunia digital sering kali memberikan kesan bahwa segala sesuatu berlangsung dengan cepat dan mudah. Namun, kehidupan di dunia nyata memerlukan kesabaran, usaha, dan ketahanan. Anak-anak yang terlalu terjebak dalam dunia maya cenderung kehilangan kemampuan sosial dan emosional seperti empati dan ketekunan.

Untuk mencapai keseimbangan, orang tua dapat:

  • Mengajak anak bermain di luar rumah atau berolahraga.
  • Melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga agar mereka belajar tentang tanggung jawab dan kerja sama.
  • Mengajak anak ke majelis ilmu atau program tahfidz agar hati mereka terikat pada Al-Qur’an.

Kegiatan-kegiatan ini membantu anak untuk kembali terhubung dengan kehidupan nyata sekaligus memperkuat hubungan spiritual mereka dengan Allah dan sesama.


6. Langkah Praktis bagi Orang Tua

  • Buatlah aturan penggunaan gadget bersama anak, agar mereka merasa terlibat dan bertanggung jawab. Contoh: “Gawai hanya boleh digunakan setelah PR selesai,” atau “Tidak ada ponsel di kamar setelah jam tidur.”
  • Jadikan waktu bersama keluarga sebagai prioritas, bukan sekadar formalitas.
  • Manfaatkan teknologi untuk kebaikan; belajar bersama, mendengarkan kajian, atau berdiskusi tentang nilai-nilai Islam.

Dengan menetapkan aturan yang jelas, menumbuhkan nilai-nilai, dan memberikan teladan, kita dapat membimbing anak-anak agar mampu menjelajahi dunia digital dengan aman, cerdas, dan berakhlak mulia, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang tangguh di dunia nyata maupun maya.


Referensi:

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari & Muslim, Shahihain.
  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
  • Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam.
  • Syaikh Shalih Al-Fauzan, Tarbiyah al-Abnaa ‘ala al-Islam.
  • Kementerian PPPA RI (2023), Panduan Pengasuhan Anak di Era Digital.
  • KPAI (2024), Laporan Penggunaan Gadget pada Anak di Indonesia.

Penulis:

Agus Haryatmo, S.Psi., M.Psi.
(Psikolog Klinis RSO dr. Soeharso Surakarta)