Anak-anak kita adalah penduduk asli dunia digital, sedangkan
kita hanyalah pendatang.
Apakah kita pernah meluangkan waktu sejenak untuk
merenungkan betapa berbeda dunia tempat anak-anak kita tumbuh dibandingkan
dengan masa kecil kita? Dulu, kita menghabiskan waktu berjam-jam bermain di
lapangan yang luas, menjalin persahabatan melalui interaksi langsung, dan
tertidur dengan tenang mendengarkan dongeng sebelum tidur dari orang tua.
Sementara itu, anak-anak zaman sekarang terbenam dalam dunia virtual yang penuh
warna, berinteraksi dengan karakter-karakter imajinatif dan cerita-cerita menarik
melalui platform seperti YouTube dan TikTok.
Mereka adalah digital native, generasi yang lahir dan tumbuh
dalam lingkungan yang kaya akan teknologi, yang membentuk cara pandang dan
interaksi mereka. Sebaliknya, kita sebagai orang tua dan pendidik adalah
digital immigrant, yang berusaha beradaptasi dan memahami dunia yang terus
berubah dengan cepat ini. Perbedaan generasi ini sering kali menimbulkan
dilema: kita ingin melindungi anak dari bahaya, namun di sisi lain kita juga
ingin mereka memanfaatkan kemajuan teknologi. Pertanyaan yang mendesak pun muncul:
bagaimana kita dapat membimbing mereka agar tetap aman dan istiqamah di tengah
kompleksitas era digital yang serba cepat ini?
1. Fitrah Anak dan Amanah Orang Tua
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).
Hadis ini mengingatkan kita bahwa setiap anak lahir dengan
hati yang suci dan kecenderungan alami untuk menerima kebenaran. Namun,
kesucian itu sangat mudah ternoda jika tidak dijaga dengan bimbingan yang
tepat. Di era digital saat ini, godaan yang dapat menjerumuskan anak tidak
hanya datang dari teman sebaya, tetapi juga dari layar-layar kecil yang selalu
mereka genggam, gawai kita dan mereka.
Anak-anak secara alami memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,
mudah meniru, dan sedang dalam proses menemukan identitas diri, aspek-aspek
yang sangat penting bagi perkembangan mereka. Dunia digital dapat berfungsi
sebagai alat yang baik atau justru menjadi penghalang dalam proses ini. Oleh
karena itu, tanggung jawab orang tua bukan hanya melarang, tetapi juga
mengarahkan naluri anak agar tumbuh dalam iman, kejujuran, dan kebaikan.
2. Dunia Digital: Pisau Bermata Dua
Teknologi ibarat pisau bermata dua, dapat sangat bermanfaat
jika digunakan dengan bijak, tetapi juga berbahaya jika disalahgunakan. Gadget,
internet, dan media sosial dapat membuka akses ke pengalaman berharga: belajar
Al-Qur’an melalui aplikasi interaktif, mendengarkan ceramah dari para ulama,
atau menemukan konten inspiratif yang mendorong kebaikan. Namun di sisi lain,
teknologi yang sama dapat memperkenalkan anak pada hal-hal yang merusak seperti
pornografi, kekerasan, dan gaya hidup maksiat yang dinormalisasi.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitab Tuhfatul
Maudud bi Ahkamil Maulud bahwa jika engkau membiarkan anakmu tanpa pendidikan
yang benar, berarti engkau membantu setan untuk merusaknya.
فَمَنْ أَهْمَلَ تَعْلِيمَ وَلَدِهِ
مَا يَنْفَعُهُ، وَتَرَكَهُ سُدًى، فَقَدْ أَسَاءَ إِلَيْهِ غَايَةَ الْإِسَاءَةِ.
وَأَكْثَرُ الْأَوْلَادِ إِنَّمَا جَاءَ فَسَادُهُمْ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ،
وَإِهْمَالِهِمْ لَهُمْ، وَتَرْكِ تَعْلِيمِهِمْ فَرَائِضَ الدِّينِ وَسُنَنَهُ
"Maka barangsiapa yang mengabaikan pengajaran kepada
anaknya tentang apa yang bermanfaat baginya, dan membiarkannya begitu saja
(tanpa bimbingan), sungguh ia telah berbuat keburukan yang sangat besar
kepadanya. Dan kebanyakan kerusakan anak-anak justru datang dari pihak orang
tua mereka, akibat pengabaian mereka terhadap anak-anak, dan akibat mereka
tidak mengajarkan anak-anak kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya."
(Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, 1/229)
وَكَمْ مِمَّنْ أَشْقَى وَلَدَهُ
وَفِلْذَةَ كَبِدِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ بِإِهْمَالِهِ وَتَرْكِ
تَأْدِيبِهِ، وَإِعَانَتِهِ عَلَى شَهَوَاتِهِ
"Dan betapa banyak orang yang telah mencelakakan
anaknya, belahan hatinya, di dunia dan akhirat, karena mengabaikannya, tidak
mendidiknya, dan membantunya (menuruti) syahwatnya." (Tuhfatul Maudud bi
Ahkamil Maulud, 1/242).
Pernyataan ini sangat relevan di era ini. Membiarkan anak
menjelajahi dunia digital tanpa pendampingan sama dengan mengirim mereka ke
hutan belantara tanpa peta, penuh kebingungan dan bahaya.
3. Menanam Nilai Sebelum Menetapkan Aturan
Banyak orang tua yang sibuk merumuskan aturan mengenai
penggunaan gadget, seperti membatasi waktu layar atau menentukan area bebas
gawai. Namun, aturan saja tidak cukup, karena dapat dilanggar saat anak tidak
diawasi. Yang jauh lebih penting adalah menanamkan nilai dan keyakinan yang
menjadi kompas moral internal, agar anak tetap berada di jalur yang benar
meskipun tanpa pengawasan.
- Tanamkan
Muraqabah (Merasa Diawasi oleh Allah)
Bangun kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi. Sampaikan dengan lembut kepada anak:
"Nak, mungkin Ayah dan Ibu tidak mengetahui apa yang kamu tonton, tetapi Allah selalu melihat. Mari kita jaga hati agar tidak melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah."
Pemahaman ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pribadi yang kuat. - Latih
Kemampuan Menyaring Informasi
Ajak anak untuk berpikir kritis terhadap informasi yang mereka temui di internet. Ingatkan mereka dengan firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya." (QS. Al-Isra: 36)
Ayat ini mengajarkan anak untuk cerdas dalam menilai kebenaran, bukan sekadar skeptis tanpa arah, tetapi menimbang dengan ilmu dan iman. - Ajarkan Adab
di Dunia Digital
Tanamkan pentingnya adab, baik di dunia nyata maupun maya: jangan memotret tanpa izin, jangan menyebarkan gosip, dan jangan menulis komentar yang menyakitkan. Dulu, kita diajarkan untuk menjaga lisan; kini kita juga harus menjaga jari. Karena satu komentar yang salah di dunia maya bisa sama beratnya dengan ucapan di dunia nyata.
4. Orang Tua: Jadilah
Teladan Sebelum Menjadi Pengatur
Anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat
daripada dari apa yang mereka dengar. Jika orang tua asyik menatap layar ponsel
saat makan bersama, jangan heran jika anak sulit lepas dari gadget-nya. Jika
kita ingin anak menundukkan pandangan, kita pun harus mencontohkannya. Jika
kita ingin anak mencintai ilmu, biarkan mereka melihat kita membuka Al-Qur’an,
bukan sekadar menggulir media sosial tanpa henti.
Rasulullah ﷺ adalah teladan
terbaik dalam mendidik dan membimbing.
Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian." (QS. Al-Ahzab: 21)
Maka mulailah dari diri kita. Buatlah momen bebas gawai di
rumah; saat makan, menjelang tidur, atau ketika berkumpul bersama. Dorong anak
untuk berbincang, bermain, dan membangun hubungan nyata, bukan hanya menunggu
notifikasi digital.
5. Menyeimbangkan Dunia Nyata dan Dunia Maya
Dunia digital sering kali memberikan kesan bahwa segala
sesuatu berlangsung dengan cepat dan mudah. Namun, kehidupan di dunia nyata
memerlukan kesabaran, usaha, dan ketahanan. Anak-anak yang terlalu terjebak
dalam dunia maya cenderung kehilangan kemampuan sosial dan emosional seperti
empati dan ketekunan.
Untuk mencapai keseimbangan, orang tua dapat:
- Mengajak anak
bermain di luar rumah atau berolahraga.
- Melibatkan
anak dalam pekerjaan rumah tangga agar mereka belajar tentang tanggung jawab
dan kerja sama.
- Mengajak anak
ke majelis ilmu atau program tahfidz agar hati mereka terikat pada Al-Qur’an.
Kegiatan-kegiatan ini membantu anak untuk kembali terhubung
dengan kehidupan nyata sekaligus memperkuat hubungan spiritual mereka dengan
Allah dan sesama.
6. Langkah Praktis bagi Orang Tua
- Buatlah
aturan penggunaan gadget bersama anak, agar mereka merasa terlibat dan
bertanggung jawab. Contoh: “Gawai hanya boleh digunakan setelah PR selesai,”
atau “Tidak ada ponsel di kamar setelah jam tidur.”
- Jadikan waktu
bersama keluarga sebagai prioritas, bukan sekadar formalitas.
- Manfaatkan
teknologi untuk kebaikan; belajar bersama, mendengarkan kajian, atau berdiskusi
tentang nilai-nilai Islam.
Dengan menetapkan aturan yang jelas, menumbuhkan
nilai-nilai, dan memberikan teladan, kita dapat membimbing anak-anak agar mampu
menjelajahi dunia digital dengan aman, cerdas, dan berakhlak mulia, sehingga
mereka tumbuh menjadi generasi yang tangguh di dunia nyata maupun maya.
Referensi:
- Al-Qur’an al-Karim.
- Al-Bukhari & Muslim, Shahihain.
- Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
- Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam.
- Syaikh Shalih Al-Fauzan, Tarbiyah al-Abnaa ‘ala al-Islam.
- Kementerian PPPA RI (2023), Panduan Pengasuhan Anak di Era
Digital.
- KPAI (2024), Laporan Penggunaan Gadget pada Anak di
Indonesia.
Penulis:
Agus Haryatmo, S.Psi., M.Psi.
(Psikolog Klinis RSO dr. Soeharso Surakarta)