Keikhlasan Niat: Pondasi Utama Segala Amal

2 hari yang lalu
173
5 menit baca
Keikhlasan Niat: Pondasi Utama Segala Amal

Pendahuluan

Setiap amal yang kita lakukan, baik kecil maupun besar, memiliki nilai di sisi Allah tergantung pada niatnya. Hadits pertama dari Arba'in An-Nawawi ini menjadi landasan penting bagi seluruh ibadah dan muamalah. Tanpa niat yang tulus karena Allah, amal sehebat apa pun bisa kehilangan nilainya.


Teks dan Terjemah Hadits

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعْمَالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لكُلِّ امْرئٍ ما نَوَى فمَنْ كانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ، ومَن كانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أوِ امْرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ.

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. al-Bukhari: 1 dan Muslim: 1907).


Makna dan Kandungan Hadits

Hadits di atas menjelaskan bahwa setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Digambarkan dalam hadits tersebut bahwa tidak semua yang berhijrah mendapatkan balasan yang sama. Semua tergantung dengan apa yang mereka niatkan.

Para ulama menyebutkan bahwa syarat diterimanya suatu amalan ada dua; Ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Siapa yang amalannya Ikhlas karena Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah maka amalannya diterima. Dan siapa yang amalannya terluput dari dua syarat itu atau salah satunya maka amalannya tertolak dan termasuk dalam firman Allah subhanahu wata’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

“Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al Furqan: 23)

Dalam kitab at Tafsir al Muyassar dijelaskan makna dari ayat tersebut, “Dan Kami perlihatkan segala apa yang mereka perbuat dari kebaikan dan kebajikan yang tampak secara zahir, kemudian Kami menjadikannya tidak berguna dan tidak berarti, tidak memberikan manfaat kepada mereka, bagaikan debu yang beterbangan, yaitu debu-debu ringan yang terlihat pada pancaran sinar matahari. Yang demikian itu karena amal tidak berguna di akhirat, kecuali apabila terpenuhi pada pemiliknya: iman kepada Allah; berikut ikhlas untukNya dan mengikuti RasulNya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (at Tafsir al Muyassar: 362)


Niat Sebagai Pembeda dan Penentu Nilai Amal

Dalam Islam, niat tidak hanya menentukan sah atau tidaknya amal, tetapi juga menilai bobotnya.

  1. Niat bisa membedakan untuk siapa amalan tersebut ditujukan (al ma’mul lah). Misalnya ada dua orang yang melakukan shalat dua rakaat, orang yang pertama mengharapkan pahala dari Allah, sedangkan orang kedua ingin mengharapkan pujian dari orang lain.
  2. Niat bisa membedakan antara ibadah dengan adat/kebiasaan. Misalnya ada dua orang yang duduk di masjid, orang yang pertama duduk dengan niat beristirahat dan orang kedua duduk di masjid dengan niat untuk i’tikaf.
  3. Niat bisa membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain. Bisa jadi satu ibadah yang dilakukan seseorang itu berupa kewajiban, sunnah, nazar, atau kaffarah. Misalnya ada beberapa orang yang puasa di hari senin dengan niat yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang niat puasa senin kamis, ada yang mengganti puasa Ramadhan, ada yang puasa nazar, ada juga puasa karena membayar kaffarah.
  4. Niat bisa merubah adat/kebiasaan menjadi ibadah. Seperti orang yang makan dengan niat agar lebih kuat dalam beribadah kepada Allah.

Masing-masing dari mereka akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang mereka niatkan.


Pentingnya Keikhlasan dalam Beramal

Keikhlasan berarti melakukan amal hanya untuk mencari ridha Allah, bukan pujian atau keuntungan dunia. Al-Qur’an menegaskan,

وَمَا أُمِرُوٓا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ اٱلدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus …” (QS. al Bayyinah: 5).

Nabi pernah mengingatkan kepada para sahabatnya tentang riya’ yang merupakan lawan dari keikhlasan, beliau bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang aku lebih khawatirkan menimpa kalian melebihi al-Masih ad-Dajjal?”

Abu Sa’id berkata, “Kami berkata, ‘Iya, tentu kami mau.'” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri untuk shalat, dia memperindah shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah: 4204)

Riya’ tidak hanya terdapat pada seseorang yang melakukan suatu amalan. Tetapi juga terdapat pada seseorang yang meninggalkan amalan.

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

ﺗَﺮْكُ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞِ ﻟِﺄَﺟْﻞِ ﺍﻟﻨَّاس رﻳَﺎءٌ، ﻭﺍﻟْﻌَﻤَﻞُ ﻟِﺄَﺟْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎس ﺷِﺮْكٌ، وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللّٰهُ مِنْهُمَا

“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan beramal karena manusia itu syirik, sedangkan ikhlas itu adalah ketika Allah selamatkan dirimu dari keduanya.” (at Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran: 32)

Para ulama menekankan bahwa ikhlas adalah amalan hati yang paling sulit dijaga. Karena itu, setiap muslim harus senantiasa memperbarui niatnya sebelum, saat, dan setelah beramal.

Sufyan ats Tsauri berkata:

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَتيِ، إنَّها تَقَلَّبُ عَلَيَّ

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik.” (Jami’ Al-‘ulum wal Hikam: 41)


Refleksi Kehidupan: Menata Niat di Setiap Langkah

Hadits ini mengajarkan bahwa bahkan aktivitas duniawi seperti bekerja, belajar, atau membantu orang lain bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah. Maka, setiap pagi sebelum memulai aktivitas, hendaknya kita mengingat: “Untuk siapa aku melakukan ini?” Dengan begitu, seluruh hidup menjadi ibadah yang berpahala.


Penutup

Hadits pertama Arba’in An-Nawawi mengingatkan kita bahwa nilai amal bukan ditentukan oleh besar kecilnya, tetapi oleh keikhlasan niatnya. Semoga kita termasuk orang yang senantiasa menata niat, beramal dengan tulus, dan meraih ridha Allah di setiap langkah kehidupan.


Referensi

  • An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. 2009. Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Beirut: Dar Al-Minhaj.
  • Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 1997. Shahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.
  • Al Qusyairi, Muslim ibn al Hajjaj. 1955. Shahih Muslim. Beirut. Dar Ihya at Turats al Arabiy
  • Ibnu Majah, Muhammad Yazid. 2014. Sunan Ibnu Majah. Jubail. Dar ash Shiddiq
  • An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. 1994. At Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. Beirut. Dar Ibn Hazm
  • Ibnu Rajab, Abdurrahman ibn Syihabuddin. 2008. Jami’ al Ulum wal Hikam. Beirut. Dar Ibn katsir
  • Al Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. 2004. Syarah al Arba’in an Nawawiyyah. Riyadh. Dar ats Tsurayya
  • Kumpulan Ahli Tafsir. 2009. At Tafsir al Muyassar. Madinah. Mujamma’ al Malik Fahd

Penulis:

Agus Purwanto, B.A.
(Pengajar pondok pesantren Al Madinah, Boyolali)