Empat Pilar Iman Kepada Allah

20 jam yang lalu
293
8 menit baca
Empat Pilar Iman Kepada Allah

Pendahuluan

Sesungguhnya hal pertama yang wajib diketahui oleh seorang hamba adalah mengenal sesembahannya yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. (Thalāthah al-Uṣūl: 134)

Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ فَاعْلَمْ اَنَّه لآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ﴾

Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah. (QS. Muhammad: 19)

Mengenal Allah –baik melalui nama-nama, sifat-sifat, perbuatan, dan hukum-hukum-Nya– adalah kewajiban yang berdiri sendiri, bukan hanya sarana menuju ibadah. Ilmu tentang Allah merupakan tujuan yang mulia, namun tidak cukup sampai di situ, harus ada ibadah yang lahir dari pengenalan tersebut. Keduanya (mengenal Allah dan beribadah hanya kepada-Nya) adalah dua hal yang dituntut secara langsung dan tidak bisa dipisahkan. (Miftāḥ Dār as-Sa‘ādah: 511-512)


Korelasi Antara Ilmu dan Iman

Keimanan kepada Allah hanya dapat terwujud melalui pengenalan terhadap-Nya, dan tingkat keimanan seseorang berbanding lurus dengan kadar pengetahuannya tentang nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.

﴿ يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ﴾

“Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang mengenal nama-nama Allah dan maknanya serta beriman kepadanya, maka imannya lebih sempurna daripada orang yang tidak mengenal nama-nama tersebut, namun ia hanya beriman secara global, atau hanya mengenal sebagian saja. Semakin seseorang bertambah pengetahuannya tentang nama-nama, sifat-sifat, dan ayat-ayat Allah, maka semakin sempurna pula imannya kepada-Nya.” (Majmū‘ al-Fatāwā: 7/233-234)


Kandungan Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah terkandung padanya empat hal:

Pertama: Beriman kepada keberadaan Allah

Keberadaan makhluk merupakan bukti adanya Pencipta, karena mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa sebab, dan tidak mungkin juga sesuatu menciptakan dirinya sendiri. (Ar-Risālah at-Tadmūriyyah: 13)

Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ ﴾

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (yang menciptakan), ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri). (At-Tur: 35)

Tidak ada yang mengingkari keberadaan Pencipta kecuali Fir‘aun dan sebagian kecil kelompok yang bersikap sombong dan menolak kebenaran. Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Fir‘aun sejatinya mengakui keberadaan Allah, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

﴿قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا اَنْزَلَ هؤُلَاءِ اِلَّا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ بَصَائرَۚ وَاِنِّيْ لَاَظُنُّكَ يٰفِرْعَوْنُ مَثْبُوْرًا﴾

Dia (Musa) menjawab, “Sungguh, engkau benar-benar telah yakin bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Tuhan langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata. Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa engkau, wahai Fir‘aun, terlaknat.” (Al-Isra': 102)

Hanya saja dia (fir’aun) menampakkan hal yang berbeda pada dirinya, sebagaimana firman Allah:

﴿وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ﴾

“Mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenarannya dari sisi Allah). Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (An-Naml:14)

Ayat ini menegaskan bahwa pengingkaran Fir‘aun dan para pengikutnya tidak didasarkan pada ketidaktahuan atau keraguan, melainkan pada kezaliman dan keangkuhan yang mendorong mereka untuk menolak kebenaran secara sengaja, meskipun hati mereka telah meyakininya. Demikian pula halnya dengan orang-orang lain yang mengingkari keberadaan Pencipta. (Taysīr al-Karīm al-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān (Tafsīr As-Sa‘dī): 1243)


Kedua: Beriman kepada Rubūbiyah-Nya

Yaitu meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb (Tuhan), tidak ada sekutu bagi-Nya. Rabb adalah Dia yang mencipta, memiliki, dan mengatur. Maka tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain-Nya, dan tidak ada pengatur kecuali Dia semata.

Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ﴾

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)

Tidak diketahui ada satu pun dari makhluk yang mengingkari Rubūbiyah Allah, kecuali jika ia adalah seorang penentang (yang membangkang) dan tidak meyakini apa yang ia ucapkan. Oleh karena itu, kaum musyrikin pun mengakui Rubūbiyah Allah, meskipun mereka mempersekutukan-Nya dalam Ulūhiyah (peribadahan).

Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ اَمَّنْ يَّمْلِكُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَمَنْ يُّخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُّدَبِّرُ الْاَمْرَۗ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللّٰهُ ﴾

“Katakanlah, “Siapakah yang menganugerahkan rezeki kepadamu dari langit dan bumi, siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka, mereka akan menjawab, “Allah.” (Yunus: 31-32)


Ketiga: Beriman kepada Ulūhiyah-Nya

Yaitu meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya Ilāh (sembahan) yang benar, tidak ada sekutu bagi-Nya. Al-Ilāh bermakna al-ma’lūh, yaitu yang disembah karena kecintaan dan pengagungan. Inilah yang terkandung dalam kalimat Lā ilāha illallāh yaitu penetapan satu-satunya sembahan yang berhak disembah adalah Allah dan peniadaan segala sesuatu yang disembah selain-Nya, maka keilahian selain Allah adalah batil (tidak benar).

﴿ ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِه هُوَ الْبَاطِلُ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ ﴾

“Hal itu (kekuasaan Allah berlaku) karena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Maha Benar dan apa saja yang mereka seru selain Dia itulah yang batil. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)

Karena itulah, para Rasul ‘alaihimussalam senantiasa menyeru kaumnya dengan mengatakan:

﴿ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُه ﴾

 “Sembahlah Allah semata, tidak ada Tuhan yang berhak kalian sembah selain Dia.”

Demikian halnya keadaan kaum musyrikin yang didakwahi oleh Nabi Muhammad , Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ اِنَّهُمْ كَانُوْا اِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ ۙ وَيَقُوْلُوْنَ اَئِنَّا لَتَارِكُوْا اٰلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُوْنٍ ۗ ﴾

Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka, “Lā ilāha illallāh” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah), mereka menyombongkan diri. Mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (As-Saffat: 35-36)

Allah berfirman pada ayat setelahnya:

﴿ بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِيْنَ ﴾

Padahal dia (Nabi Muhammad) datang dengan membawa kebenaran dan membenarkan para rasul (sebelumnya). (As-Saffat: 37)

Allah membongkar akar-akar kemusyrikan dalam firman-Nya:

﴿ قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِۚ لَا يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِما مِنْ شِرْكٍ وَّمَا لَه مِنْهُمْ مِّنْ ظَهِيْرٍ وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَه اِلَّا لِمَنْ اَذِنَ لَه﴾

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi. Mereka juga sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” Tidaklah berguna syafaat (pertolongan) di sisi-Nya, kecuali bagi orang yang diizinkan-Nya.” (Saba': 22-23)

Kaum musyrikin menyembah selain Allah karena mengira akan mendapat manfaat dari yang mereka sembah. Namun, manfaat hanya mungkin diperoleh dari pihak yang memiliki salah satu dari empat hal:

  1. Menguasai apa yang diinginkan oleh penyembahnya,
  2. Menjadi sekutu dari Penguasa,
  3. Menjadi pembantu atau penolong Penguasa,
  4. Mampu memberi syafaat di hadapan Penguasa.

Allah menolak keempat kemungkinan ini dalam ayat di atas, sehingga gugurlah seluruh alasan kaum musyrikin dalam menyekutukan Allah. (Al-Mulakhkhaṣ fī Sharḥ Kitāb al-Tawḥīd: 133-135)

Lebih dari itu, kaum musyrikin sendiri mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta. Maka secara logis, pengakuan ini seharusnya membuat mereka hanya menyembah Allah, bukan selain-Nya. (Sharḥ Thalāthah al-Uṣūl: 85)


Keempat: Beriman kepada Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya

Yaitu meyakini apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), atau melalui sunnah Rasul-Nya berupa nama-nama dan sifat-sifat, sesuai dengan keagungan dan kelayakan-Nya, tanpa tahrīf (penyimpangan makna), tanpa ta’thīl (meniadakan), tanpa takyīf (menanyakan ‘bagaimana’), dan tanpa tamtsīl (menyerupakan dengan makhluk).

Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:

﴿ وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا ﴾

Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik (Asmaul Husna), maka berdoalah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama itu.” (Al-A'raf:180)

Dan firman-Nya:

﴿ وَلِلّٰهِ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى ﴾

Hanya Allah yang mempunyai sifat Yang Maha Tinggi.” (An-Nahl:60)

Dan firman-Nya:

﴿ لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura:11)


Dalam memahami nama dan sifat Allah, dua kelompok telah menyimpang:

Kaum Mu‘aṭṭilah
Kelompok ini menolak sebagian atau seluruh nama dan sifat Allah dengan alasan takut menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun, anggapan ini salah karena:

  • Allah sendiri telah menetapkan nama dan sifat-Nya sekaligus menafikan adanya keserupaan dengan makhluk.
  • Kesamaan istilah atau nama (seperti mendengar, melihat) tidak berarti kesamaan hakikat. Makhluk pun berbeda-beda sifatnya meski memakai istilah yang sama. Maka, perbedaan antara Pencipta dan makhluk tentu jauh lebih besar.

Kaum Musyabbihah
Kelompok ini menetapkan nama dan sifat Allah namun menyerupakan-Nya dengan makhluk. Mereka berdalih bahwa Allah berbicara dengan bahasa yang dipahami manusia. Ini juga keliru, karena:

  • Menyerupakan Allah dengan makhluk bertentangan dengan akal dan syariat.
  • Memang makna umum bisa dipahami, namun hakikat sifat Allah tidak diketahui dan hanya Allah yang mengetahuinya. Misalnya, kita tahu arti "pendengaran", tapi bagaimana sifat pendengaran Allah, itu tidak bisa disamakan dengan pendengaran makhluk. (Sharḥ Thalāthah al-Uṣūl: 85 – 87)

Buah dari Iman kepada Allah

Iman yang benar kepada Allah membuahkan manfaat besar, di antaranya:

  1. Mewujudkan tauhid secara sempurna.
  2. Menumbuhkan kecintaan dan pengagungan kepada Allah.
  3. Terealisasinya ibadah kepada-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. (Sharḥ Thalāthah al-Uṣūl: 87)

Penutup

Iman kepada Allah merupakan fondasi utama dalam akidah Islam. Keimanan ini tidak cukup hanya diakui secara lisan, tetapi harus dibangun di atas empat pilar utama:

Iman kepada Keberadaan Allah: meyakini dengan pasti bahwa Allah benar-benar ada, ditunjukkan oleh akal sehat, fitrah manusia, serta dalil-dalil wahyu.

Iman kepada Rubūbiyyah-Nya: meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta, tanpa ada sekutu dalam kekuasaan-Nya.

Iman kepada Ulūhiyyah-Nya: menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan segala bentuk ibadah selain kepada-Nya adalah syirik yang membatalkan keimanan.

Iman kepada Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya: meyakini seluruh nama dan sifat yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an dan sunnah, tanpa menyelewengkan, meniadakan, menyerupakan, ataupun mempertanyakan hakikat-Nya.

Dengan memahami dan mengamalkan keempat aspek ini, seorang mukmin akan mampu mewujudkan tauhid secara utuh, memperkuat hubungan dengan Allah, dan menjalani kehidupan dengan panduan akidah yang lurus. Inilah jalan yang ditempuh para nabi dan rasul dalam menyeru umat manusia kepada kebenaran.


Referensi:

  • Al-Fauzān, Ṣāliḥ bin Fauzān. Al-Mulakhkhaṣ fī Sharḥ Kitāb al-Tawḥīd. Riyāḍ: Maktabah Dār al-Minhāj, 1443 H.
  • Al-Tamīmī, Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Thalāthah al-Uṣūl, ed. ‘Abd al-Muḥsin al-Qāsim. Riyāḍ: Mu’assasah Ṭālib al-‘Ilm, 2025.
  • As-Sa‘dī, ‘Abd al-Raḥmān bin Nāṣir. Taysīr al-Karīm al-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān (Tafsīr As-Sa‘dī). Dammām: Dār Ibn al-Jawzī, 1422 H.
  • Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Miftāḥ Dār al-Sa‘ādah. Makkah: Dār ‘Ālam al-Fawā’id, 1432 H.
  • Ibn Taymiyyah, Aḥmad bin ‘Abd al-Ḥalīm. Ar-Risālah at-Tadmūriyyah. Riyāḍ: Jāmi‘at al-Imām, 1408 H.
  • Ibn Taymiyyah, Aḥmad bin ‘Abd al-Ḥalīm. Majmū‘ al-Fatāwā, ed. ‘Abd al-Raḥmān bin Qāsim. Madīnah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2004.
  • Ibn Taymiyyah, Aḥmad bin ‘Abd al-Ḥalīm. Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muḥammad Rashād Sālim. Riyāḍ: Jāmi‘at al-Imām, 1991.
  • Ibn ‘Uthaymīn, Muḥammad bin Ṣāliḥ. Sharḥ Thalāthah al-Uṣūl. Qaṣim: Mu’assasah asy-Syaikh, 1445 H.

Penulis:

Abu al-Laits Hafidz Cahaya, Lc.
(Pengajar Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Madinah Boyolali)