Pendahuluan
Qadarullah, beberapa waktu yang lalu terjadi dua kasus bunuh
diri yang terekspos di wilayah Solo. Dua peristiwa ini mengguncang nurani kita
dan sekaligus menjadi pengingat bahwa ancaman bunuh diri bukan hal asing,
melainkan fenomena nyata yang kian dekat — bahkan di tengah masyarakat yang
religius.
Sepanjang tahun 2024, tercatat 1.455 kasus bunuh diri di
Indonesia meningkat sekitar 100 kasus dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini
diyakini hanya puncak gunung es. Estimasi underreporting mencapai 859
persen, menunjukkan bahwa jumlah kasus sebenarnya bisa sembilan kali lipat
lebih tinggi. Provinsi Jawa Tengah mencatat angka tertinggi dengan 478 kasus,
dua kali lipat dibanding Jawa Timur dan jauh melampaui Jawa Barat.
Sebagai umat Islam, kita memandang kehidupan sebagai amanah
dari Allah ﷻ yang tidak boleh diakhiri dengan tangan
sendiri. Namun dalam ranah psikologi klinis, bunuh diri seringkali merupakan
puncak dari penderitaan mental yang tidak tertangani, bukan semata-mata bentuk
penolakan terhadap takdir. Maka penting bagi kita — orang tua, pendidik, dan
pengelola pesantren untuk memahami penyebabnya, mengenali gejalanya, serta
menanganinya dengan cara yang benar, ilmiah, dan sesuai tuntunan syariat.
1. Penyebab Bunuh Diri dalam Perspektif Psikologi
Dalam psikologi kontemporer, bunuh diri dipahami sebagai
hasil dari interaksi yang rumit antara faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Beberapa faktor risiko yang paling umum ditemukan antara lain:
- Depresi berat atau
gangguan suasana hati — menjadi faktor risiko utama untuk tindakan bunuh
diri.
- Perasaan putus asa dan
merasa menjadi beban bagi orang lain, yang sering kali muncul dalam
pikiran negatif yang berulang.
- Kesepian dan isolasi
sosial, terutama di kalangan remaja yang kehilangan dukungan emosional.
- Trauma dan kehilangan,
seperti perceraian orang tua, kegagalan akademik, atau penolakan dari
lingkungan.
- Tekanan sosial dan
perundungan (bullying), termasuk yang terjadi melalui media sosial.
- Riwayat percobaan bunuh
diri sebelumnya atau pernyataan keinginan untuk mati.
Dalam konteks pesantren atau sekolah berasrama,
faktor-faktor seperti kerinduan rumah, tekanan akademik, ketakutan akan
hukuman, serta stigma terhadap santri yang dianggap “tidak kuat” juga dapat
meningkatkan risiko.
Islam mengajarkan bahwa manusia pasti akan diuji dalam jiwa
dan kehidupan, Allah berfirman:
الَّذِى خَلَقَ المَوتَ والحَیَوٰةَ لِیَبلُوَكُم
أَیُّكُم أَحسَنُ عَمَلاۚ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2).
Namun ujian tersebut tidak berarti kita dibiarkan tanpa
usaha. Rasulullah ﷺ bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا
أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu sesuai dengan penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim no. 2204)
Artinya, selain doa dan dzikir, usaha medis dan psikologis juga merupakan bagian dari ketaatan.
2. Gangguan Psikologis yang Sering Disalahpahami
Masih banyak masyarakat Muslim yang menafsirkan gangguan
jiwa sebagai gangguan jin atau lemahnya iman. Padahal, banyak kondisi yang
secara medis dapat dijelaskan dan ditangani dengan tepat.
|
Gangguan Psikologis |
Gejala Umum |
Kesalahpahaman |
|
OCD (Obsessive Compulsive Disorder) |
Pikiran berulang, takut salah wudhu, mencuci tangan
berkali-kali, ragu ibadah sudah sah |
Dianggap “was-was syaitan” semata |
|
Skizofrenia |
Halusinasi, mendengar suara, berbicara sendiri, menarik
diri dari sosial |
Dianggap “kesurupan” atau “kerasukan jin” |
|
Depresi berat |
Kehilangan semangat, menangis tanpa sebab, ingin mati |
Dianggap “kurang iman”, “kurang syukur” |
|
Panic disorder / kecemasan berat |
Sesak, jantung berdebar, takut mati |
Dianggap “kerasukan” atau “diganggu jin” |
Padahal, menyederhanakan semua pada gangguan ruhani justru
berbahaya. Penilaian medis dan psikologis sangat diperlukan walaupun ruqyah
syar’iyyah tetap dilakukan.
Ulama seperti Abu Zaid al-Balkhi (abad ke-9) dalam
karyanya Masalih al-Abdan wa al-Anfus sudah menjelaskan bahwa kesehatan
jasmani dan ruhani sama-sama butuh perawatan — dan keduanya bisa terganggu oleh
sebab alami maupun spiritual.
3. Gangguan Jiwa Bukan Karena Lemah Iman
Psikiater Muslim kontemporer juga menegaskan:
"Gangguan jiwa bukanlah indikasi lemahnya iman,
melainkan merupakan penyakit yang dapat menyerang siapa saja." (dr. Zulvia
Oktanida, Sp.KJ – Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia)
4. Depresi dan Self-Harm pada Remaja
1. Depresi
Depresi pada remaja sering tidak dikenali karena ditutupi
dengan perilaku seperti:
- Menarik diri, diam, malas
berinteraksi.
- Sulit tidur atau terlalu
banyak tidur.
- Hilang motivasi belajar.
- Mengeluh bosan hidup.
Survei Kementerian Kesehatan RI (2023) menunjukkan 1 dari 10
remaja Indonesia mengalami gejala depresi, dan lebih dari 30% pernah merasa
hidupnya tidak berharga.
Di lingkungan pesantren, penelitian di beberapa pondok
menunjukkan 6–8% santri menunjukkan gejala depresi sedang hingga berat, sering
kali akibat tekanan adaptasi dan kerinduan terhadap keluarga.
2. Self-Harm (melukai
diri sendiri)
Self-harm atau perilaku melukai diri sendiri adalah cara
tidak sehat untuk mengatasi tekanan emosional.
Survei di beberapa kota besar menunjukkan:
- 61% remaja pernah
melakukan self-harm ringan (misal mencubit, menggores tangan, menampar
diri).
- 28% di antaranya tergolong
tinggi dan berisiko melanjutkan ke ide bunuh diri.
Fenomena ini tidak boleh diremehkan. Banyak remaja
yang tampak religius atau ceria di luar, tetapi menyimpan luka emosional yang
dalam.
5. Kewaspadaan dan Tanggung Jawab di Pesantren
Pesantren sering kali dianggap sebagai lingkungan yang
paling aman dari masalah kesehatan mental. Namun, kenyataannya, banyak santri
yang mengalami tekanan psikologis tanpa terdeteksi. Berikut adalah beberapa
langkah pencegahan dan penanganan yang dapat diambil oleh pengelola pesantren:
1. Deteksi Dini
- Awasi perubahan perilaku
santri: seperti murung, menyendiri, kehilangan semangat, atau berbicara
tentang kematian.
- Sediakan sistem pelaporan
rahasia bagi santri yang ingin mencari bantuan.
2. Lingkungan yang Aman
Emosional
- Ciptakan budaya ukhuwah
yang mendukung, bukan hanya disiplin yang ketat.
- Hindari hukuman atau
ejekan yang dapat mempermalukan.
3. Edukasi Kesehatan Jiwa
- Adakan pelatihan untuk
ustadz, musyrif, dan santri senior mengenai tanda-tanda gangguan mental.
- Tekankan bahwa berobat ke
psikolog atau psikiater bukanlah aib.
4. Kolaborasi dengan
Profesional
- Bentuk jejaring rujukan
dengan psikolog atau rumah sakit terdekat.
- Jika santri menunjukkan
gejala berat (seperti halusinasi, self-harm, atau ide bunuh diri), segera
konsultasikan dengan profesional.
5. Pendekatan Spiritual
yang Proporsional
- Bimbing santri untuk
memperkuat hubungan dengan Allah melalui shalat, dzikir, dan tadabbur.
- Namun, jangan jadikan
“iman lemah” sebagai vonis.
- Ajarkan kesabaran dan
keridhaan sebagai cara coping spiritual, bukan sebagai alasan untuk tidak
berusaha.
6. Panduan Deteksi Awal di Pesantren
Berikut checklist sederhana bagi pengurus asrama dan ustadz
pembimbing:
- Santri terlihat menarik
diri, jarang bergaul.
- Wajah murung, sering
termenung.
- Tidur terlalu lama atau
sangat sedikit.
- Penurunan prestasi
tiba-tiba.
- Sering mengungkapkan
perasaan “tidak berguna” atau “ingin pergi selamanya.” Ada luka bekas
sayatan di tangan/kaki.
Jika ≥3 tanda muncul dan menetap lebih dari 2 minggu,
maka santri perlu segera dikonsultasikan ke psikolog atau psikiater.
7. Penutup
Bunuh diri adalah musibah sosial dan kemanusiaan yang tidak
boleh dianggap remeh. Islam melarang keras tindakan ini, tetapi sekaligus
mengajarkan kasih sayang terhadap pelaku dan keluarganya.
Daripada menyalahkan, mari kita belajar mendengar, memahami,
dan menolong.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ؛ نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di akhirat.” (HR. Muslim no. 2699)
Semoga kita termasuk orang-orang yang menjadi sebab
keselamatan jiwa saudara-saudara kita, bukan yang menambah bebannya.
Referensi:
- American Psychological Association. (2023). Suicide:
Understanding and Preventing.
- Kementerian Kesehatan RI. (2023). Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas): Kesehatan Mental Remaja Indonesia.
- Psikologi UGM. (2024). Kuliah Online Pencegahan Bunuh
Diri.
- Antaranews.com. (2023). Psikiater: Gangguan Jiwa Bukan
Tanda Lemah Iman.
- Askara.co. (2025). Gangguan Mental, Tanda Kurang Iman?
- Muhammadiyah.or.id. (2024). Warisan Intelektual Islam
tentang Kesehatan Mental.
- NU Online. (2023). Penanganan Skizofrenia Sejak Masa
Ar-Razi dan Ibnu Sina.
- Lifestyle.kompas.com. (2024). Self-Harm pada Remaja:
Pencegahan dan Penanganan oleh Orang Tua.
- Jurnal Psikosains (2023). Dukungan Sosial dan Penyesuaian
Diri Santri di Pesantren.
- HR. Muslim, Kitab As-Salam, no. 2204.
- Al-Qur’an, QS. Al-Mulk: 2; QS. Al-Anbiya: 7.
Penulis:
Agus Haryatmo, S.Psi., M.Psi.
(Psikolog Klinis RSO dr. Soeharso Surakarta)