Bunuh Diri, Ancaman Nyata Yang Sering Terabaikan

1 hari yang lalu
186
6 menit baca
Bunuh Diri, Ancaman Nyata Yang Sering Terabaikan

Pendahuluan

Qadarullah, beberapa waktu yang lalu terjadi dua kasus bunuh diri yang terekspos di wilayah Solo. Dua peristiwa ini mengguncang nurani kita dan sekaligus menjadi pengingat bahwa ancaman bunuh diri bukan hal asing, melainkan fenomena nyata yang kian dekat — bahkan di tengah masyarakat yang religius.

Sepanjang tahun 2024, tercatat 1.455 kasus bunuh diri di Indonesia meningkat sekitar 100 kasus dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini diyakini hanya puncak gunung es. Estimasi underreporting mencapai 859 persen, menunjukkan bahwa jumlah kasus sebenarnya bisa sembilan kali lipat lebih tinggi. Provinsi Jawa Tengah mencatat angka tertinggi dengan 478 kasus, dua kali lipat dibanding Jawa Timur dan jauh melampaui Jawa Barat.

Sebagai umat Islam, kita memandang kehidupan sebagai amanah dari Allah yang tidak boleh diakhiri dengan tangan sendiri. Namun dalam ranah psikologi klinis, bunuh diri seringkali merupakan puncak dari penderitaan mental yang tidak tertangani, bukan semata-mata bentuk penolakan terhadap takdir. Maka penting bagi kita — orang tua, pendidik, dan pengelola pesantren untuk memahami penyebabnya, mengenali gejalanya, serta menanganinya dengan cara yang benar, ilmiah, dan sesuai tuntunan syariat.


1. Penyebab Bunuh Diri dalam Perspektif Psikologi

Dalam psikologi kontemporer, bunuh diri dipahami sebagai hasil dari interaksi yang rumit antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Beberapa faktor risiko yang paling umum ditemukan antara lain:

  1. Depresi berat atau gangguan suasana hati — menjadi faktor risiko utama untuk tindakan bunuh diri.
  2. Perasaan putus asa dan merasa menjadi beban bagi orang lain, yang sering kali muncul dalam pikiran negatif yang berulang.
  3. Kesepian dan isolasi sosial, terutama di kalangan remaja yang kehilangan dukungan emosional.
  4. Trauma dan kehilangan, seperti perceraian orang tua, kegagalan akademik, atau penolakan dari lingkungan.
  5. Tekanan sosial dan perundungan (bullying), termasuk yang terjadi melalui media sosial.
  6. Riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya atau pernyataan keinginan untuk mati.

Dalam konteks pesantren atau sekolah berasrama, faktor-faktor seperti kerinduan rumah, tekanan akademik, ketakutan akan hukuman, serta stigma terhadap santri yang dianggap “tidak kuat” juga dapat meningkatkan risiko.

Islam mengajarkan bahwa manusia pasti akan diuji dalam jiwa dan kehidupan, Allah berfirman:

الَّذِى خَلَقَ المَوتَ والحَیَوٰةَ لِیَبلُوَكُم أَیُّكُم أَحسَنُ عَمَلاۚ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2).

Namun ujian tersebut tidak berarti kita dibiarkan tanpa usaha. Rasulullah bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu sesuai dengan penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim no. 2204)

Artinya, selain doa dan dzikir, usaha medis dan psikologis juga merupakan bagian dari ketaatan.


2. Gangguan Psikologis yang Sering Disalahpahami

Masih banyak masyarakat Muslim yang menafsirkan gangguan jiwa sebagai gangguan jin atau lemahnya iman. Padahal, banyak kondisi yang secara medis dapat dijelaskan dan ditangani dengan tepat.

Gangguan Psikologis

Gejala Umum

Kesalahpahaman
yang Umum

OCD (Obsessive Compulsive Disorder)

Pikiran berulang, takut salah wudhu, mencuci tangan berkali-kali, ragu ibadah sudah sah

Dianggap “was-was syaitan” semata

Skizofrenia

Halusinasi, mendengar suara, berbicara sendiri, menarik diri dari sosial

Dianggap “kesurupan” atau “kerasukan jin”

Depresi berat

Kehilangan semangat, menangis tanpa sebab, ingin mati

Dianggap “kurang iman”, “kurang syukur”

Panic disorder / kecemasan berat

Sesak, jantung berdebar, takut mati

Dianggap “kerasukan” atau “diganggu jin”

Padahal, menyederhanakan semua pada gangguan ruhani justru berbahaya. Penilaian medis dan psikologis sangat diperlukan walaupun ruqyah syar’iyyah tetap dilakukan.

Ulama seperti Abu Zaid al-Balkhi (abad ke-9) dalam karyanya Masalih al-Abdan wa al-Anfus sudah menjelaskan bahwa kesehatan jasmani dan ruhani sama-sama butuh perawatan — dan keduanya bisa terganggu oleh sebab alami maupun spiritual.


3. Gangguan Jiwa Bukan Karena Lemah Iman

Psikiater Muslim kontemporer juga menegaskan:

"Gangguan jiwa bukanlah indikasi lemahnya iman, melainkan merupakan penyakit yang dapat menyerang siapa saja." (dr. Zulvia Oktanida, Sp.KJ – Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia)


4. Depresi dan Self-Harm pada Remaja

1. Depresi
Depresi pada remaja sering tidak dikenali karena ditutupi dengan perilaku seperti:

  • Menarik diri, diam, malas berinteraksi.
  • Sulit tidur atau terlalu banyak tidur.
  • Hilang motivasi belajar.
  • Mengeluh bosan hidup.

Survei Kementerian Kesehatan RI (2023) menunjukkan 1 dari 10 remaja Indonesia mengalami gejala depresi, dan lebih dari 30% pernah merasa hidupnya tidak berharga.

Di lingkungan pesantren, penelitian di beberapa pondok menunjukkan 6–8% santri menunjukkan gejala depresi sedang hingga berat, sering kali akibat tekanan adaptasi dan kerinduan terhadap keluarga.

2. Self-Harm (melukai diri sendiri)

Self-harm atau perilaku melukai diri sendiri adalah cara tidak sehat untuk mengatasi tekanan emosional.

Survei di beberapa kota besar menunjukkan:

  • 61% remaja pernah melakukan self-harm ringan (misal mencubit, menggores tangan, menampar diri).
  • 28% di antaranya tergolong tinggi dan berisiko melanjutkan ke ide bunuh diri.

Fenomena ini tidak boleh diremehkan. Banyak remaja yang tampak religius atau ceria di luar, tetapi menyimpan luka emosional yang dalam.


5. Kewaspadaan dan Tanggung Jawab di Pesantren

Pesantren sering kali dianggap sebagai lingkungan yang paling aman dari masalah kesehatan mental. Namun, kenyataannya, banyak santri yang mengalami tekanan psikologis tanpa terdeteksi. Berikut adalah beberapa langkah pencegahan dan penanganan yang dapat diambil oleh pengelola pesantren:

1. Deteksi Dini

  1. Awasi perubahan perilaku santri: seperti murung, menyendiri, kehilangan semangat, atau berbicara tentang kematian.
  2. Sediakan sistem pelaporan rahasia bagi santri yang ingin mencari bantuan.

2. Lingkungan yang Aman Emosional

  1. Ciptakan budaya ukhuwah yang mendukung, bukan hanya disiplin yang ketat.
  2. Hindari hukuman atau ejekan yang dapat mempermalukan.

3. Edukasi Kesehatan Jiwa

  1. Adakan pelatihan untuk ustadz, musyrif, dan santri senior mengenai tanda-tanda gangguan mental.
  2. Tekankan bahwa berobat ke psikolog atau psikiater bukanlah aib.

4. Kolaborasi dengan Profesional

  1. Bentuk jejaring rujukan dengan psikolog atau rumah sakit terdekat.
  2. Jika santri menunjukkan gejala berat (seperti halusinasi, self-harm, atau ide bunuh diri), segera konsultasikan dengan profesional.

5. Pendekatan Spiritual yang Proporsional

  1. Bimbing santri untuk memperkuat hubungan dengan Allah melalui shalat, dzikir, dan tadabbur.
  2. Namun, jangan jadikan “iman lemah” sebagai vonis.
  3. Ajarkan kesabaran dan keridhaan sebagai cara coping spiritual, bukan sebagai alasan untuk tidak berusaha.

6. Panduan Deteksi Awal di Pesantren

Berikut checklist sederhana bagi pengurus asrama dan ustadz pembimbing:

  1. Santri terlihat menarik diri, jarang bergaul.
  2. Wajah murung, sering termenung.
  3. Tidur terlalu lama atau sangat sedikit.
  4. Penurunan prestasi tiba-tiba.
  5. Sering mengungkapkan perasaan “tidak berguna” atau “ingin pergi selamanya.” Ada luka bekas sayatan di tangan/kaki.

Jika ≥3 tanda muncul dan menetap lebih dari 2 minggu, maka santri perlu segera dikonsultasikan ke psikolog atau psikiater.


7. Penutup

Bunuh diri adalah musibah sosial dan kemanusiaan yang tidak boleh dianggap remeh. Islam melarang keras tindakan ini, tetapi sekaligus mengajarkan kasih sayang terhadap pelaku dan keluarganya.

Daripada menyalahkan, mari kita belajar mendengar, memahami, dan menolong.
Rasulullah bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ؛ نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. 

“Barangsiapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di akhirat.” (HR. Muslim no. 2699)

Semoga kita termasuk orang-orang yang menjadi sebab keselamatan jiwa saudara-saudara kita, bukan yang menambah bebannya.


Referensi:

  • American Psychological Association. (2023). Suicide: Understanding and Preventing.
  • Kementerian Kesehatan RI. (2023). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas): Kesehatan Mental Remaja Indonesia.
  • Psikologi UGM. (2024). Kuliah Online Pencegahan Bunuh Diri.
  • Antaranews.com. (2023). Psikiater: Gangguan Jiwa Bukan Tanda Lemah Iman.
  • Askara.co. (2025). Gangguan Mental, Tanda Kurang Iman?
  • Muhammadiyah.or.id. (2024). Warisan Intelektual Islam tentang Kesehatan Mental.
  • NU Online. (2023). Penanganan Skizofrenia Sejak Masa Ar-Razi dan Ibnu Sina.
  • Lifestyle.kompas.com. (2024). Self-Harm pada Remaja: Pencegahan dan Penanganan oleh Orang Tua.
  • Jurnal Psikosains (2023). Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri Santri di Pesantren.
  • HR. Muslim, Kitab As-Salam, no. 2204.
  • Al-Qur’an, QS. Al-Mulk: 2; QS. Al-Anbiya: 7.

Penulis:

Agus Haryatmo, S.Psi., M.Psi.
(Psikolog Klinis RSO dr. Soeharso Surakarta)