Musim hujan adalah berkah yang membawa rahmat, namun tak jarang ia datang bersama tantangan. Bagi seorang muslim, hujan deras, jalanan becek, atau angin kencang dapat menjadi kesulitan tersendiri untuk berangkat ke masjid menunaikan shalat berjamaah.
Di sinilah letak keindahan Islam sebagai agama yang samhah (penuh toleransi) dan mengangkat kesulitan. Syariat memberikan rukhshah atau keringanan bagi umatnya. Pertanyaannya, bolehkah jamaah di masjid menjamak (menggabungkan) dua shalat karena kondisi tersebut? Dan apa saja ketentuannya?
Artikel ini akan mengulasnya berdasarkan pandangan para ulama fiqih.
1. Hukum Dasar Menjamak Shalat Karena Hujan
Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa menjamak shalat Maghrib dan Isya karena hujan adalah disyariatkan atau dibolehkan. Ini adalah pandangan yang dipegang oleh mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, serta dipilih oleh banyak ulama peneliti, termasuk Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Dasar dari kebolehan ini disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (15/289):
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ: إِلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، بِسَبَبِ الْمَطَرِ الْمُبَلِّلِ لِلثِّيَابِ، وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ؛ لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: "صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا". زَادَ مُسْلِمٌ: "مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ".
"Mayoritas fuqaha dari Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali berpendapat bolehnya menjamak antara Maghrib dan Isya karena sebab hujan yang membasahi pakaian, salju, dan es; berdasarkan hadis shahih dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa ia berkata: 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Zhuhur dan Asar sekaligus di Madinah, serta Maghrib dan Isya sekaligus.', Imam Muslim menambahkan: 'Tanpa adanya rasa takut atau bepergian (safar).'" (HR. al-Bukhari no. 543 dan Muslim no. 705)
Praktik ini pun bukanlah hal baru, melainkan telah diamalkan sejak zaman para sahabat. Dalam kitab Al-Mudawwanah disebutkan:
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ هِلَالٍ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ قُسَيْطٍ حَدَّثَهُ: أَنَّ جَمْعَ الصَّلَاتَيْنِ بِالْمَدِينَةِ، فِي لَيْلَةِ الْمَطَرِ، الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ: سُنَّةٌ. وَأَنْ قَدْ صَلَّاهَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ، عَلَى ذَلِكَ. وَجَمْعُهُمَا: أَنَّ الْعِشَاءَ تُقَرَّبُ إِلَى الْمَغْرِبِ، حِينَ تُصَلَّى الْمَغْرِبُ. وَكَذَلِكَ أَيْضًا يُصَلُّونَ بِالْمَدِينَةِ.
قَالَ سَحْنُونُ: وَإِنَّ النَّبِيَّ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - جَمَعَهُمَا جَمِيعًا.
“Ibnu Wahb meriwayatkan dari Amr bin Al-Harits bahwa Sa'id bin Hilal menceritakan kepadanya bahwa Ibnu Qusait menceritakan kepadanya: Menjamak dua shalat di Madinah pada malam hujan, yaitu Maghrib dan Isya, adalah sunnah. Abu Bakar, Umar, dan Utsman pernah menjamak shalat saat hujan. Cara menjamaknya adalah shalat Isya dikerjakan setelah shalat Maghrib di waktu Maghrib... Sahnun berkata: 'Sungguh Nabi alaihi ash-shalatu wa as-salam menjamak keduanya (Maghrib dan Isya) secara bersamaan.” (Al-Mudawwanah: 1/204)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan kuatnya landasan ini:
فَهَذِهِ الْآثَارُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لِلْمَطَرِ: مِنَ الْأَمْرِ الْقَدِيمِ الْمَعْمُولِ بِهِ بِالْمَدِينَةِ، زَمَنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، مَعَ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ أَنَّ أَحَدًا مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ أَنْكَرَ ذَلِكَ؛ فَعُلِمَ أَنَّهُ مَنْقُولٌ عِنْدَهُمْ بِالتَّوَاتُرِ جَوَازُ ذَلِكَ.
“Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa jamak karena hujan adalah perkara telah lama diamalkan di Madinah pada zaman Sahabat dan Tabi'in, di samping tidak ada riwayat yang menukil bahwa seorang pun dari Sahabat atau Tabi'in mengingkari hal itu. Maka diketahui bahwa kebolehan jamak karena hujan dinukil secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang) di kalangan mereka.” (Majmu' Al-Fatawa: 24/83).
2. Kapan Saja Dibolehkan: Maghrib-Isya atau Zhuhur-Asar?
Umumnya, praktik menjamak karena hujan lebih dikenal untuk pasangan shalat Maghrib dan Isya. Namun, bagaimana dengan Zhuhur dan Asar?
Mazhab Hanbali secara tradisional tidak membolehkannya. Akan tetapi, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memiliki pandangan berbeda. Beliau berpendapat:
وَعُلِمَ مِنْ قَوْلِهِ: "بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ": أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الظُّهْرَيْنِ لِهَذِهِ الْأَسْبَابِ. وَهُوَ الْمَذْهَبُ. وَالرَّاجِحُ: أَنَّهُ جَائِزٌ لِهَذِهِ الْأَسْبَابِ وَغَيْرِهَا، بَيْنَ الظُّهْرَيْنِ، وَالْعِشَاءَيْنِ، عِنْدَ وُجُودِ الْمَشَقَّةِ بِتَرْكِ الْجَمْعِ، كَمَا يُفِيدُهُ حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
"Dari perkataan: 'antara dua salat Isya' (Maghrib dan Isya)' diketahui bahwa tidak boleh menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar karena sebab-sebab tersebut. Ini adalah pendapat mazhab (Hanbali). Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa menjamak dibolehkan karena sebab-sebab ini atau sebab lainnya, antara Zhuhur dan Asar, serta Maghrib dan Isya, jika terdapat kesulitan (masyaqqah) dengan meninggalkan jamak, sebagaimana dipahami dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu." (Asy-Syarh Al-Mumti': 4/392).
3. Syarat Utama: Hujan Seperti Apa Yang Membolehkan?
Keringanan ini tidak berlaku untuk setiap rintik air. Para ulama sangat tegas dalam menetapkan syaratnya. Jamak hanya dibolehkan jika hujan yang turun benar-benar menimbulkan kesulitan dan membasahi pakaian.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan batasannya:
وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ إِلَّا فِي مَطَرٍ يَبُلُّ الثِّيَابَ. وَأَمَّا الْمَطَرُ الَّذِي لَا يَبُلُّ الثِّيَابَ، فَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ لِأَجْلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُتَأَذَّى بِهِ.
"Tidak boleh menjamak kecuali dalam hujan yang membasahi pakaian. Adapun hujan gerimis yang tidak membasahi pakaian, maka tidak boleh menjamak, karena tidak menimbulkan kesulitan (gangguan)." (Syarh Al-Muhadzdzab: 4/378).
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Qudamah rahimahullah yang menyatakan:
وَالْمَطَرُ الْمُبِيحُ لِلْجَمْعِ: هُوَ مَا يَبُلُّ الثِّيَابَ، وَتَلْحَقُ الْمَشَقَّةُ بِالْخُرُوجِ فِيهِ. وَأَمَّا الطَّلُّ، وَالْمَطَرُ الْخَفِيفُ الَّذِي لَا يَبُلُّ الثِّيَابَ: فَلَا يُبِيحُ؛ وَالثَّلْجُ كَالْمَطَرِ فِي ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَاهُ، وَكَذَلِكَ الْبَرَدُ.
"Hujan yang membolehkan jamak adalah hujan yang membasahi pakaian, dan menimbulkan kesulitan untuk keluar di dalamnya. Adapun gerimis, dan hujan ringan yang tidak membasahi pakaian, maka tidak membolehkan jamak. Salju juga sama seperti hujan dalam hal ini, demikian pula es." (Al-Mughni: 3/133).
Lalu, apa batasan praktis dari "membasahi pakaian"? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan definisi yang jelas:
إِذَا كَانَ هُنَاكَ مَطَرٌ يَبُلُّ الثِّيَابَ، لِكَثْرَتِهِ وَغَزَارَتِهِ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ... فَإِنْ قِيلَ: مَا ضَابِطُ الْبَلَلِ؟ فَالْجَوَابُ: هُوَ الَّذِي إِذَا عُصِرَ الثَّوْبُ، تَقَاطَرَ مِنْهُ الْمَاءُ.
"Jika ada hujan yang membasahi pakaian, karena banyak dan lebat, maka boleh menjamak antara Maghrib dan Isya... Jika ditanyakan: apa batasan membasahi? Jawabannya: jika pakaian diperas, airnya menetes."
4. Hukum Menjamak Saat Baru Mendung
Bagaimana jika langit sudah sangat gelap, angin kencang, dan hujan sepertinya akan turun lebat, namun belum turun?
Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh menjamak hanya berdasarkan perkiraan. Rukhshah (keringanan) diberikan karena adanya kesulitan yang nyata (masyaqqah), bukan kesulitan yang baru diduga akan terjadi.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
وَلَا يُجْمَعُ إِلَّا وَالْمَطَرُ مُقِيمٌ فِي الْوَقْتِ الَّذِي تُجْمَعُ فِيهِ. فَإِنْ صَلَّى إِحْدَاهُمَا، ثُمَّ انْقَطَعَ الْمَطَرُ: لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ الْأُخْرَى إِلَيْهَا.
"Tidak boleh menjamak kecuali hujan sedang berlangsung pada waktu shalat yang dijamak. Jika seseorang telah mengerjakan shalat salah satunya, kemudian hujan berhenti, maka ia tidak boleh menjamak shalat yang kedua dengannya." (Al-Umm: 1/95).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menegaskan hal ini saat ditanya:
وَهُنَا سُؤَالَانِ - الْأَوَّلُ: إِذَا كَانَتِ السَّمَاءُ غَائِمَةً وَلَمْ يَكُنْ مَطَرٌ وَلَا وَحْلٌ، وَلَكِنَّ الْمَطَرَ مُتَوَقَّعٌ فَهَلْ يَجُوزُ الْجَمْعُ؟ الْجَوَابُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالِ؛ لِأَنَّ الْمُتَوَقَّعَ غَيْرُ وَاقِعٍ...
الثَّانِي: إِذَا كَانَ مَطَرٌ، وَلَكِنْ شَكَكْنَا هَلْ هُوَ مَطَرٌ يُبِيحُ الْجَمْعَ أَوْ لَا؟ وَالْجَوَابُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ وُجُوبُ فِعْلِ الصَّلَاةِ فِي وَقْتِهَا؛ فَلَا يُعْدَلُ عَنِ الْأَصْلِ إِلَّا بِيَقِينِ الْعُذْرِ.
"Ada dua pertanyaan:
1. Jika langit berawan tebal, tetapi tidak ada hujan dan becek, namun hujan diperkirakan akan turun, apakah boleh menjamak? Jawabannya: Tidak boleh menjamak dalam kondisi ini karena yang diperkirakan tidak sama dengan yang terjadi...
2. Jika ada hujan, tetapi kita ragu apakah hujan itu membolehkan jamak atau tidak? Jawabannya: Tidak boleh menjamak dalam kondisi ini, karena asalnya adalah shalat wajib dikerjakan pada waktunya; maka tidak boleh menyimpang dari asal kecuali dengan keyakinan adanya udzur (alasan syar'i)." (Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin: 15/393).
5. Bagaimana Jika Hujan Turun Tiba-Tiba (Masalah Niat)?
Sering terjadi, jamaah selesai shalat Maghrib dalam cuaca normal, namun begitu salam, hujan deras tiba-tiba turun. Padahal, mereka tidak berniat jamak sejak awal. Bolehkah mereka langsung menjamak Isya?
Jawabannya, ya, boleh. Menurut pendapat yang kuat, niat jamak tidak disyaratkan harus ada di awal shalat yang pertama. Yang terpenting adalah uzur (hujan) itu terjadi saat shalat kedua akan dimulai.
Imam An-Nawawi rahimahullah menukil pendapat Al-Muzani:
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وَبَعْضُ الْأَصْحَابِ: لَا تُشْتَرَطُ -نِيَّةُ الْجَمْعِ- لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ، وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ نَوَى الْجَمْعَ، وَلَا أَمَرَ بِنِيَّتِهِ.
"Al-Muzani dan sebagian sahabat kami berkata: Niat jamak tidak disyaratkan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjamak, dan tidak dinukil bahwa beliau berniat jamak, atau memerintahkan niatnya..."
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan praktis:
مَتَى وُجِدَ الْعُذْرُ عِنْدَ افْتِتَاحِ الثَّانِيَةِ جَازَ الْجَمْعُ، فَلَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ وَلَيْسَ عِنْدَهُ نِيَّةُ الْجَمْعِ... وَبَعْدَ سَلَامِهِ مِنَ الْمَغْرِبِ أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، فَنَوَى الْجَمْعَ = فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ...
فَالْحَاصِلُ: أَنَّ الصَّحِيحَ، أَنَّهُ مَتَى وُجِدَ الْعُذْرُ الْمُبِيحُ لِلْجَمْعِ، فِي وَقْتٍ لَا يَحْصُلُ بِهِ التَّفْرِيقُ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ.
"Kapan pun uzur (alasan) yang membolehkan jamak ditemukan pada saat memulai shalat yang kedua, maka jamak dibolehkan. Jadi, seandainya ia shalat Maghrib tanpa niat jamak... kemudian setelah salam dari Maghrib, langit hujan, lalu ia berniat jamak = maka tidak mengapa... Yang benar adalah: kapan pun uzur yang membolehkan jamak ditemukan, pada waktu yang tidak menyebabkan pemisahan panjang (antara dua salat), maka boleh menjamak." (Ta'liqat Ibnu Utsaimin 'ala Al-Kafi li Ibni Qudamah: 2/151).
6. Pandangan Mazhab Maliki (Jamak Karena Perkiraan)
Sedikit berbeda dengan jumhur, Mazhab Maliki membolehkan jamak Maghrib dan Isya tidak hanya saat hujan, tetapi juga saat diperkirakan kuat akan turun hujan, misalnya karena langit sangat gelap atau awan pekat.
Az-Zurqani rahimahullah berkata:
رُخِّصَ نَدْبًا فِي جَمْعِ الْعِشَاءَيْنِ فَقَطْ، لِكُلِّ مَسْجِدٍ... لِمَطَرٍ يَحْمِلُ أَوَاسِطَ النَّاسِ عَلَى تَغْطِيَةِ رُءُوسِهِمْ، وَاقِعٍ أَوْ مُتَوَقَّعٍ، بِقَرِينَةِ غَبَرٍ أَوْ سَحَابٍ.
"Diberikan rukhsah (keringanan) sunnah untuk menjamak dua shalat Isya (Maghrib dan Isya) saja... karena hujan... baik sedang terjadi atau diperkirakan turun dengan tanda-tanda seperti debu atau awan." (Syarh Az-Zurqani 'ala Mukhtashar Khalil: 2/87).
Namun, pendapat ini memiliki konsekuensi. Jika mereka menjamak berdasarkan perkiraan, dan ternyata hujan tidak jadi turun, mereka wajib mengulangi shalat Isya pada waktunya.
An-Nafrawi rahimahullah berkata:
فَلَوْ جَمَعُوا لِأَجْلِ الْمَطَرِ الْمُتَوَقَّعِ، وَلَمْ يَحْصُلْ؛ فَيَنْبَغِي الْإِعَادَةُ لِصَلَاةِ الْعِشَاءِ فِي الْوَقْتِ.
"...Jika mereka menjamak karena hujan yang diperkirakan turun, dan ternyata tidak terjadi; maka mereka harus mengulangi shalat Isya pada waktunya." (Al-Fawakih Ad-Dawani: 1/231).
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, pendapat mayoritas ulama (jumhur) adalah yang paling kuat dan hati-hati. Menjamak shalat adalah keringanan yang terikat pada sebab yang nyata, yaitu:
- Hujan sedang turun (bukan sekadar mendung atau perkiraan).
- Hujan tersebut cukup deras hingga membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dibolehkan mengambil keringanan tersebut, dan shalat wajib dikerjakan pada waktunya masing-masing. Wallahu a'lam bish-shawab.
Referensi:
- Al-Bukhari, M. I. (2001). Shahih Al-Bukhari. Dar Tawq An-Najah.
- Muslim ibn al-Hajjaj. (1955). Shahih Muslim. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah.
- Sahnun, A. S. (1994). Al-Mudawwanah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait. (1983–2006). Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah. Wizarat al-Awqaf wa asy-Syu'un al-Islamiyyah.
- Ibnu Taimiyyah, A. (1995). Majmu' Al-Fatawa. Majma' al-Malik Fahd li Thiba'at al-Mushaf asy-Syarif.
- Al-'Utsaimin, M. S. (2007). Asy-Syarh Al-Mumti' 'ala Zad Al-Mustaqni'. Dar Ibnul Jauzi.
- An-Nawawi, Y. S. (2001). Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab. Dar Ihya al-Turats al-Arabi.
- Ibnu Qudamah, M. (1997). Al-Mughni. Dar 'Alam al-Kutub.
- Asy-Syafi'i, M. I. (1990). Al-Umm. Dar al-Ma'rifah.
- Al-'Utsaimin, M. S. (1992). Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin. Dar al-Wathan li an-Nasyr.
- Al-'Utsaimin, M. S. (1997). Ta'liqat Ibnu Utsaimin 'ala Al-Kafi li Ibni Qudamah. Maktabah Al-'Ubaikan.
- Az-Zurqani, A. B. (2002). Syarh Az-Zurqani 'ala Mukhtashar Khalil. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- An-Nafrawi, A. (1995). Al-Fawakih Ad-Dawani 'ala Risalah Ibni Abi Zaid Al-Qairawani. Dar al-Fikr.
Penulis:
Khasnan Hanif, B.A.
(Alumni Universitas Islam Madinah, Saudia Arabia. Pengajar Pondok Pesantren Al Madinah Nogosari Boyolali)