Hakikat Seorang Anak
Anak adalah nikmat sekaligus ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap orang tua. Sebagai nikmat, orang tua harus mensyukurinya dan mendidiknya dengan baik. Sedangkan sebagai ujian, hal itu menuntut tanggung jawab besar dan kesabaran agar anak tidak menjadi fitnah bagi orang tuanya.
إِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15).
Oleh karena itu, dalam mendidik anak, setiap muslim hendaknya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, sehingga nantinya anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi yang saleh dan membawa kebaikan di dunia maupun akhirat.
Selain itu, anak adalah investasi bagi kita, orang tuanya, di akhirat kelak. Sehingga, banyak bekal yang harus kita persiapkan untuk masa depan anak-anak kita. Ini tidak hanya soal finansial—seperti kecukupan pangan, sandang, dan papan—melainkan juga model pola asuh Islami. Tujuannya agar anak-anak kita tidak hanya tumbuh sehat secara fisik dan mental, tetapi juga spiritual.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).
Sholat dan Tingkat Usia
Setiap orang tua muslim pasti menginginkan anak-anaknya rajin beribadah, khususnya sholat, bahkan sejak usia dini atau masih usia prasekolah. Mungkinkah hal itu terjadi? Bukankah mereka belum wajib sholat? Bukankah mereka sulit diatur?
Dalam suatu penelitian psikologi, ditunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam praktik keagamaan secara signifikan berkorelasi dengan keterlibatan keagamaan anak. Mereka menyoroti pentingnya peran orang tua (ayah dan bunda) sebagai model (modeling) dan agen sosialisasi keagamaan.
Selain itu, kualitas hubungan emosional antara anak dan pengasuh utamanya (ayah bunda) sangat memengaruhi perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak. Keterikatan yang nyaman dan aman akan menciptakan dasar kepercayaan dan rasa aman bagi anak untuk menjelajahi dunia dan menginternalisasi nilai-nilai.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat Ketika berumur tujuh tahun. Dan pukulah mereka ketika berusia sepuluh tahun (Ketika mereka meninggalkan shalat), dan pisahkanlah tempat tidur mereka (laki-laki dengan perempuan).” (HR. Abu Daud No: 495)
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengajari anak sholat di usia tujuh tahun, bukan di usia yang lain?
Seorang psikolog, Jean Piaget, pada tahun 1936 dengan teorinya tentang perkembangan kemampuan kognitif anak, menyatakan bahwa anak yang berusia tujuh tahun kemampuan kognitifnya sedang berkembang pesat sehingga mampu berpikir secara terstruktur. Hal ini membuatnya bisa memahami tahapan-tahapan dalam sebuah proses aktivitas.
Pembentukan pola pikir anak juga dimulai sejak usia dini. Artinya, semua yang diterima pancaindra akan menjadi rekaman di otak, termasuk aktivitas dalam menjalani sholat. Anak akan menyerap visualisasi aktivitas keseharian ketika bersama orang-orang disekitarnya. Anak akan mengamati respons ayah ketika mendengar azan, sikap ayah bunda ketika mengambil air wudu, hingga cara ayah memakai sarung dan bunda memakai mukena.
Sebagai orang tua, hal kecil apa pun harus diperhatikan karena anak melihat “tuntunan dan keteladanan” dari apa yang menjadi kebiasaan orang tuanya. Jadi, untuk mendidik anak agar rajin ibadah, khususnya sholat, sudah selayaknya kita sebagai orang tua harus selalu memperbaiki diri agar mampu menjadi guru dengan keteladanan yang baik.
Usia 1 - 3 tahun
Pada usia ini, fokus anak adalah pengenalan awal sholat sebagai bagian rutinitas keluarga, membangun asosiasi positif, dan eksplorasi sensorik. Hasil penelitian psikologi tentang perilaku imitasi pada balita menunjukkan kemampuan alami anak untuk meniru tindakan yang mereka amati, meskipun mereka belum sepenuhnya memahami maknanya. Ini mendukung pendekatan membiarkan anak melihat dan meniru gerakan-gerakan sholat.
Dengan pembiasaan secara visual dan aktivitas, anak dibiasakan untuk akrab dengan ibadah sholat. Anak akan melihat aktivitas ibadah seluruh keluarganya: bagaimana respons ayah bunda saat mendengar suara azan, atau melihat ayah bunda membaca Al-Qur'an.
Selain itu, apakah ayah bunda pernah mengobrol dengan anak usia di bawah tiga tahun? Jika belum, lakukanlah segera. Dengan mengobrol, akan banyak potensi anak yang terlihat dan dapat dikembangkan, terutama fungsi kognitif dan kemampuan komunikasi. Obrolan-obrolan kecil sebelum anak tidur merupakan momen yang berkualitas.
Mulailah menerapkan nilai-nilai kedisiplinan yang konsisten sejak dini. Dalam hal ini, orang tualah yang menjadi peran utama dalam memberikan teladan (role model) kepada anak-anaknya, sehingga anak melihat kedisiplinan dalam menunaikan sholat yang tercermin dari orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya.
Usia 4 – 6 tahun
Menurut teori perkembangan psikososial, anak pada usia ini ingin mengambil inisiatif, merencanakan aktivitas, dan merasa kompeten dalam melakukan sesuatu. Jika hal itu diabaikan atau diremehkan, mereka akan merasa bersalah dan rendah diri.
Terkait ibadah sholat, berikanlah kesempatan bagi mereka untuk berinisiatif. Misalnya, ketika anak mendengar suara azan lalu sholat sendiri, tetapi gerakannya mungkin ada yang salah atau urutannya tidak beraturan. Atau mungkin ketika anak memilih dan memakai mukenanya sendiri. Biarkanlah hal itu dilakukan. Kita sebagai orang tua janganlah terburu-buru mengoreksi, apalagi langsung mengkritiknya. Berikan pujian dan hargailah setiap usaha mereka sehingga anak nanti bisa menghargai suatu proses daripada selalu fokus pada hasil.
Komunikasi dan koordinasi yang baik antara orang tua dan guru di sekolah menjadi kunci keberhasilan dalam pembiasaan sholat anak. Tanyalah tentang perilaku dan perkembangan sholat anak saat di sekolah. Begitu juga saat anak di rumah, kita sebagai orang tua harus dapat menjaga pembiasaan positif yang telah dibentuk dari sekolah dan menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Usia 7 – 9 tahun
Pada tahap usia ini, anak mulai dapat berpikir logis tentang suatu hal yang secara konkret dan dapat memahami kejadian sebab-akibat, konsep peraturan, hak, dan kewajiban.
Pada tahap ini, lebih ditekankan makna bacaan dalam sholat secara sederhana. Ajarkan waktu-waktu sholat dan jelaskan pentingnya sholat sebagai kewajiban serta manfaat yang didapatkan di dunia maupun nanti di akhirat. Hal itu bisa menjadi motivasi yang efektif bagi anak agar sholat menjadi suatu kewajiban, bukan rutinitas semata.
Di tahap usia 7 tahun ke atas ini, anak lebih dibiasakan untuk sholat dengan benar, baik dari sisi bacaan maupun gerakannya. Hal ini akan menjadi dasar ketika ia dewasa. Pola reward (hadiah) dan punishment (hukuman) bisa diterapkan. Namun, perlu dipahami bahwa hadiah dan hukuman diarahkan untuk membentuk kebiasaan, bukan sebagai tujuan utama ibadah. Hukuman adalah cara untuk menjaga kita dari kelalaian, sedangkan hadiah adalah cara memberikan apresiasi dan penghargaan pada suatu proses, bukan sekadar hasil yang dicapainya.
Usia 10 – 12 tahun
Menurut teori perkembangan psikososial, anak yang memasuki masa remaja mulai mencari tahu siapa mereka, nilai-nilai yang mereka yakini, mencoba berbagai peran, dan mencari rasa konsistensi diri. Anak remaja mulai mencari makna personal dalam praktik keagamaan mereka sebagai bagian dari pembentukan identitas diri.
Kita sebagai orang tua harus bisa mengawasi dan memastikan lingkungan dan pergaulan anak-anak kita berada di circle yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.” (HR. al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no. 2628)
Perbanyak diskusi untuk usia ini. Mereka sangat eksploratif, namun tetap perlu diarahkan, karena usia remaja ini juga mudah terpengaruh. Kaitkan sholat dengan pembentukan identitas diri mereka sebagai seorang Muslim. Diskusikan bagaimana sholat dapat memperkuat karakter dan nilai-nilai, sehingga mereka tidak malu menjadi seorang Muslim di tengah masyarakat. Tanamkan bahwa seorang Muslim itu terhormat, baik di dunia maupun di akhirat.
Penutup
Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk yang mini. Kita perlu melakukan pendekatan dengan memahami dari sudut pandang mereka. Lakukan secara bertahap dan dengan komunikasi yang hangat serta sesuai level usianya. Sehingga, mereka mendapatkan figur dan circle yang baik dalam penguatan nilai-nilai agama, khususnya sholat.
Ingatlah, anak-anak kita adalah investasi kita di akhirat kelak. Bersemangatlah dalam menjadikan mereka seorang muslim seutuhnya, yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai satu-satunya tempat bersandar dan berkeluh kesah dengan media ibadah yang bernama sholat.
Referensi
Al-Qur'an Al-Karim
Al-Bukhari dan Muslim: Shahihain
Studi oleh King, P.E & Furrow, J. L. (2004). Religion and Positive Youth Development: A Contextual-system Approach, Applied Developmental Science, 8(1), 17-26.
Teori Keterikatan (Attachment Theory) – John Bowlby
Penelitian dalam Psikologi Perkembangan tentang imitasi pada balita. Meltzoff, A.N & Moore, M.K (1977). Imitation of facial and manual gestures by human neonates. Science, 198(4312), 75-78.
Teori Perkembangan Psikososial – Tahap Inisiatif vs Rasa Bersalah. Erik Erikson.
Teori Perkembangan Psikososial – Tahap Identitas vs Kebingungan Peran. Erik Erikson.
Teori Perkembangan Kognitif – Tahap Operasional Konkret. Jean Piaget.
Studi tentang sosialisasi keagamaan pada remaja. Good, M., & Willoughby, T (2008).
Penulis:
Hari Yudho Wibowo, S.Psi.
(Guru BK SMPIP Al Madinah Nogosari)