Ashabul Ukhdud - Iman Yang Tak Terbakar Api

1 hari yang lalu
156
9 menit baca
Ashabul Ukhdud - Iman Yang Tak Terbakar Api

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَ‌بِّ الْعَالَمِينَ، نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أَمَّا بَعْدُ:


Kisah Pemuda, Rahib, dan Raja

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....

Ada kisah yang yang bagus, penuh dengan hikmah dan pelajaran yang sangat berharga tentang ashabul ukhdud. Kisah tersebut dikisahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam hadits yang diriwayatkan oleh  Imam Muslim dari sahabat Shuhaib bin Sinan Ar Rumiy tentang ashabul ukhdud — para pembuat parit api — yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7)

“Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (berbahan bakar) besar, ketika mereka duduk di sekitarnya, dan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Buruj: 4–7)

Dalam hadits tersebut disebutkan:

“Dahulu ada raja dari  umat sebelum kalian, ia mempunyai tukang sihir. Ketika tukang sihir tersebut dalam usia senja, ia berkata kepada raja:

“Sungguh saya ini sudah tua maka kirimkan kepadaku pemuda  yang akan aku ajari ilmu sihir”.

Maka diutuslah  seorang pemuda padanya dan ia pun mengajari pemuda tersebut. Di tengah perjalanan belajar, Pemuda  ini bertemu seorang Rahib. Ia pun duduk bersamanya dan menyimak nasehat si Rahib. Ia begitu takjub pada apa yang disampaikan si Rahib. Setiap selesai dari tukang sihir untuk belajar, ia pun menemui si Rahib dan duduk belajar padanya. Suatu hari ia terlambat mendatangi tukang sihir, sehingga ia pun dipukul, maka pemuda tersebut mengadukan kejadian itu kepada Rahib. Maka Rahib menasehatinya: “Jika engkau khawatir pada tukang sihir tersebut, maka katakan saja bahwa keluargaku menahanku. Jika engkau khawatir pada keluargamu,  maka katakanlah bahwa tukang sihir telah menahanku.”

Suatu hari tibalah ia di suatu tempat dan di sana ada seekor binatang besar yang menghalangi jalan orang-orang banyak. Pemuda itu berkata: “Pada hari ini saya akan mengetahui, apakah penyihir itu yang lebih baik ataukah Rahib itu.” Ia mengambil sebuah batu seraya berkata:

اَللّٰهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ، فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيْ النَّاس

“Ya Allah, apabila ajaran Rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang dapat melintas.”

Lalu pemuda melempar binatang tersebut dengan batu dan ia berhasil membunuhnya, kemudian  orang-orang dapat melintas.  Setelah itu  ia mendatangi Rahib dan mengabarkan hal tersebut, maka Rahib mengatakan: “Wahai anakku, saat ini engkau lebih mulia dariku. Kamu sudah satu  tingkat dari yang saya tahu. Sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika kamu mendapat cobaan, janganlah menyebut namaku”

Setelah itu pemuda  tersebut dapat mengobati orang buta, orang yang berpenyakit kulit dan berbagai penyakit lainnya.

Berita ini sampai ke telinga teman dekatnya raja yang telah lama buta, kemudian ia mendatangi pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah. Ia berkata, “Ini semua jadi milikmu asalkan engkau menyembuhkanku”. Pemuda  itu berkata:

 “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun. Yang mampu menyembuhkan hanyalah Allah. Jika engkau beriman pada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya agar engkau bisa sembuh.”

 Ia pun beriman pada Allah, kemudian Allah menyembuhkannya. Teman dekatnya raja tadi kemudian mendatangi raja dan ia duduk seperti biasanya. Raja bertanya padanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” Ia menjawab: “Tuhanku”. Raja bertanya: “Apa engkau punya Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Tuhanku dan Tuhanmu itu adalah Allah.” Raja kemudian menghukum dan menyiksanya hingga dia memberitahukan tentang Pemuda tersebut.

Kemudian pemuda tersebut didatangkan ke hadapan raja dan raja pun bertanya pada pemuda itu, “Wahai anakku, telah sampai padaku berita mengenai sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kulit, serta engkau dapat melakukan ini dan itu, benarkah?.” Pemuda  itu menjawab:

“Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang menyembuhkan adalah Allah.”

Kemudian raja pun menghukum dan menyiksanya hingga dia memberitahukan tentang si Rahib. Akhirnya Rahib didatangkan pada Raja dan dikatakan kepada Rahib, “Kembalilah pada agamamu!” Namun Rahib enggan. Lantas didatangkan padanya gergaji dan diletakkan di tengah kepalanya. Lalu dibelahlah kepalanya dan terjatuhlah belahan kepala tersebut. Setelah itu, sahabat dekat raja dipanggil ke hadapannya, dan dikatakan kepadanya, “Kembalilah pada ajaranmu!” Ia pun enggan. Lantas terjadilah hal yang sama padanya sebagaimana yang terjadi pada Rahib.

Kemudian giliran pemuda tersebut maka dikatakan padanya: “Kembalilah pada agamamu!” Namun pemuda enggan. Kemudian pemuda tersebut diserahkan kepada pasukan dan Raja berkata, “Pergilah kalian ke gunung ini dan itu, dakilah gunung tersebut bersamanya, jika kalian telah sampai di puncaknya (tanyailah dia), apabila ia kembali pada agamanya, bebaskan ia, namu jika tidak, lemparkanlah ia dari gunung tersebut.” Lantas pasukan raja tersebut membawa  pemuda itu dengan mendaki gunung. Lalu pemuda itu berdoa:

اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ

 “Ya Allah, lindungilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.”

Seketika gunung berguncang dan semua pasukan raja jatuh, maka si pemuda itu kembali kepada sang Raja. Ketika sampai, sang Raja bertanya, “Apa yang dilakukan teman-temanmu?” Ia menjawab, “Allah telah melindungiku dari tindakan mereka.” Lalu pemuda tersebut dibawa lagi oleh pasukan raja yang lainnya. Raja berkata kepada pasukan tersebut, “Pergilah kalian ke tengah lautan dengan kapal, jika ia mau kembali dari agamanya, bebaskan dia, namun jika tidak, tenggelamkan ia.” Mereka pun lantas pergi. Lalu pemuda tersebut berdoa:

اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ

 “Ya Allah, lindungilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.”

Tiba-tiba kapal pun terbalik, pasukan raja tenggelam, dan si Pemuda tersebut kembali mendatangi raja. Raja pun berkata, “Apa yang dilakukan teman-temanmu?” Ia menjawab: “Allah telah melindungiku dari tindakan mereka.”

Lalu pemuda berkata kepada raja, “Sungguh engkau tidak bisa membunuhku kecuali engkau melakukan seperti apa yang saya suruh.” Raja bertanya, “Apa itu?” Pemuda itu menjawab, “Kumpulkanlah rakyat di suatu bukit, lalu saliblah aku, kemudian ambillah anak panah dari tempat panahku, kemudian ucapkanlah:

بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ

 “Dengan nama Allah, Tuhan dari pemuda ini.”

“Lalu panahlah aku, maka apabila engkau melakukannya niscaya engkau  dapat membunuhku.” 

Maka Raja mengumpuklan seluruh Rakyat. Lalu si Pemuda tersebut disalib, kemudian raja  mengambil anak panah milik  si pemuda itu kemudian diletakkan di busurnya, dan mengucapkan,

بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ

“Dengan nama Allah Tuhan Pemuda ini.”

Lalu dilepaslah anak  panah dan  mengenai pelipisnya, lalu pemuda tersebut mati.

Maka setelah itu manusia pun berkata:

آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ... آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ... آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ...

 “Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu…  Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu…  Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu.”

Akhirnya Raja mendatangi mereka, kemudian ada yang berkata: “Apakah engkau melihat apa yang selama ini engkau khawatirkan? Demi Allah… benar-benar terjadi apa yang kamu khawatirkan, sungguh manusia telah beriman pada Tuhan Pemuda itu.” Kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat parit dan menyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Siapa yang tidak mau kembali dari agamanya, maka lemparkanlah ia ke dalam api.” Mereka pun melakukannya, hingga giliran seorang wanita bersama bayinya, tatkala wanita ini khawatir terjatuh dalam parit tersebut, bayi yang digendong pun berkata:

“Wahai ibu, bersabarlah karena engkau di atas kebenaran.” (HR. Imam Muslim, no. 3005)

Teguh di atas Keimanan

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....

Kisah ini menggambarkan betapa berat ujian yang dialami kaum beriman. Mereka dibakar hidup-hidup dalam parit, namun tetap memilih surga daripada keselamatan dunia. Allah menegaskan:

أَم حَسِبتُم أَن تَدخُلُوالجَنَّةَ وَلَمَّا یَأتِكُم مَّثَلُ الَّذِینَ خَلَوا مِن قَبلِكُمۖ مَّسَّتهُمُ البَأسَاءُ والضَّرَّاءُ وَزُلزِلُوا

Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana orang-orang sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan hebat...” (QS. Al-Baqarah: 214)

Kisah Ashabul Ukhdud mengajarkan bahwa iman sejati menuntut keteguhan dan keberanian, meski harus menghadapi nyawa sebagai taruhannya. Sementara kita, hidup di masa damai tanpa siksaan seperti mereka, seharusnya lebih bersyukur dan bersemangat memperkuat iman serta amal sholih.


Sihir Tak Akan Beruntung

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....

Kisah ini juga menjadi penegasan bahwa sihir adalah perbuatan yang dibenci Allah Ta’ala. Pemuda tersebut berkata dengan penuh iman:

Ya Allah, apabila ajaran Rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini.”

Dan benar, Allah menunjukkan kebesaran-Nya.

 Allah berfirman:

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ

Tukang sihir tidak akan pernah beruntung di mana pun ia berada.” (QS. Thaha: 69)

Syaikh As-Sa‘diy rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya:

كَيْدُهُمْ وَمَكْرُهُمْ لَيْسَ بِمُثْمِرٍ لَهُمْ

 “Tipu daya dan makar mereka tidak akan memberi manfaat sedikit pun bagi mereka.”  (Tafsir As Sa’dy: 509)

Sihir hanyalah ilusi, tipuan, dan bentuk perlawanan terhadap tauhid. Karenanya, seorang mukmin wajib menjauhinya serta meyakini bahwa kesembuhan dan keselamatan hanya datang dari Allah semata.


Hakikat Wali Allah

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....

Allah berikan karamah dan pertolongan kepada hamba yang bertakwa. Sebagaimana firman-Nya:

 أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

 “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yunus: 62–63)

Karamah bukanlah kemampuan aneh seperti kebal senjata atau terbang di udara, namun kemuliaan iman dan keteguhan dalam ketaatan. Pemuda dalam kisah ini menjadi wali Allah karena kesabarannya mempertahankan kebenaran hingga akhir hayat.


Refleksi Penutup

Saudaraku fillah...

 Kisah Ashabul Ukhdud adalah cermin keteguhan iman dan pelajaran abadi bagi setiap muslim. Dunia bisa saja menawarkan keamanan, jabatan, atau kelapangan, tetapi surga hanya disediakan bagi mereka yang bersabar di jalan Allah.

Mari kita jadikan kisah ini penguat hati dalam menghadapi cobaan, baik kecil maupun besar.

 Karena sebagaimana bayi dalam kisah itu menasihati ibunya — dengan bahasa fitrah dan keyakinan yang murni:

Wahai Ibu, bersabarlah, engkau berada di atas kebenaran.”

Semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran hingga akhir hayat, menjauhkan kita dari tipu daya dunia, dan mengumpulkan kita bersama orang-orang beriman di surga-Nya.


Referensi:

  • Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘diy. (2002). Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān. Mu’assasah ar-Risālah, Beirut.
  • An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. (1996). Syarḥ Shahīh Muslim. Dār al-Ma‘rifah, Beirut.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Dār Ṭayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzī‘, Riyadh.
  • Al-Qurṭubī, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad. (2006). Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, Kairo.
  • Asy-Syaukānī, Muhammad bin ‘Ali. (1993). Fatḥ al-Qadīr: Al-Jāmi‘ bayna Fannai ar-Riwāyah wa ad-Dirāyah min ‘Ilm at-Tafsīr. Dār Ibn Katsīr, Damaskus.
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalānī. (1986). Fatḥ al-Bārī bi Syarḥ Shahīh al-Bukhārī. Dār al-Ma‘rifah, Beirut.
  • Al-Qur’an al-Karim. Mushaf Madinah. Mujamma‘ al-Malik Fahd li Ṭibā‘at al-Muṣḥaf asy-Syarīf, Madinah al-Munawwarah.
  • Imam Muslim bin al-Hajjaj. (n.d.). Al-Jāmi‘ ash-Shahīḥ (Shahīh Muslim). Dār Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī, Beirut.

Penulis:

Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)