اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ، نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَن لَّا
إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أَمَّا بَعْدُ:
Kisah Pemuda, Rahib, dan Raja
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....
Ada kisah yang yang bagus, penuh dengan hikmah dan pelajaran
yang sangat berharga tentang ashabul ukhdud. Kisah tersebut dikisahkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam
hadits yang diriwayatkan oleh  Imam
Muslim dari sahabat Shuhaib bin Sinan Ar Rumiy tentang ashabul ukhdud — para
pembuat parit api — yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an:
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4)
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا
يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7)
“Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (berbahan bakar) besar, ketika mereka duduk di sekitarnya, dan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Buruj: 4–7)
Dalam hadits tersebut disebutkan:
“Dahulu ada raja dari 
umat sebelum kalian, ia mempunyai tukang sihir. Ketika tukang sihir
tersebut dalam usia senja, ia berkata kepada raja:
“Sungguh saya ini sudah tua maka kirimkan kepadaku
pemuda  yang akan aku ajari ilmu sihir”.
Maka diutuslah  seorang pemuda padanya dan ia pun mengajari
pemuda tersebut. Di tengah perjalanan belajar, Pemuda  ini bertemu seorang Rahib. Ia pun duduk
bersamanya dan menyimak nasehat si Rahib. Ia begitu takjub pada apa yang
disampaikan si Rahib. Setiap selesai dari tukang sihir untuk belajar, ia pun
menemui si Rahib dan duduk belajar padanya. Suatu hari ia terlambat mendatangi
tukang sihir, sehingga ia pun dipukul, maka pemuda tersebut mengadukan kejadian
itu kepada Rahib. Maka Rahib menasehatinya: “Jika engkau khawatir pada tukang
sihir tersebut, maka katakan saja bahwa keluargaku menahanku. Jika engkau
khawatir pada keluargamu,  maka
katakanlah bahwa tukang sihir telah menahanku.”
Suatu hari tibalah ia di suatu tempat dan di sana ada seekor
binatang besar yang menghalangi jalan orang-orang banyak. Pemuda itu berkata:
“Pada hari ini saya akan mengetahui, apakah penyihir itu yang lebih baik
ataukah Rahib itu.” Ia mengambil sebuah batu seraya berkata: 
اَللّٰهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ
الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ، فَاقْتُلْ هَذِهِ
الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيْ النَّاس
“Ya Allah, apabila ajaran Rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang dapat melintas.”
Lalu pemuda melempar binatang tersebut dengan batu dan ia
berhasil membunuhnya, kemudian 
orang-orang dapat melintas. 
Setelah itu  ia mendatangi Rahib
dan mengabarkan hal tersebut, maka Rahib mengatakan: “Wahai anakku, saat ini
engkau lebih mulia dariku. Kamu sudah satu 
tingkat dari yang saya tahu. Sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan,
maka jika kamu mendapat cobaan, janganlah menyebut namaku”
Setelah itu pemuda 
tersebut dapat mengobati orang buta, orang yang berpenyakit kulit dan
berbagai penyakit lainnya. 
Berita ini sampai ke telinga teman dekatnya raja yang telah
lama buta, kemudian ia mendatangi pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah.
Ia berkata, “Ini semua jadi milikmu asalkan engkau menyembuhkanku”. Pemuda  itu berkata:
 “Aku tidak dapat
menyembuhkan seorang pun. Yang mampu menyembuhkan hanyalah Allah. Jika engkau
beriman pada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya agar engkau bisa sembuh.”
 Ia pun beriman pada
Allah, kemudian Allah menyembuhkannya. Teman dekatnya raja tadi kemudian
mendatangi raja dan ia duduk seperti biasanya. Raja bertanya padanya, “Siapa
yang menyembuhkan penglihatanmu?” Ia menjawab: “Tuhanku”. Raja bertanya: “Apa
engkau punya Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Tuhanku dan Tuhanmu itu adalah
Allah.” Raja kemudian menghukum dan menyiksanya hingga dia memberitahukan
tentang Pemuda tersebut.
Kemudian pemuda tersebut didatangkan ke hadapan raja dan
raja pun bertanya pada pemuda itu, “Wahai anakku, telah sampai padaku berita
mengenai sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kulit, serta
engkau dapat melakukan ini dan itu, benarkah?.” Pemuda  itu menjawab:
“Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang
menyembuhkan adalah Allah.” 
Kemudian raja pun menghukum dan menyiksanya hingga dia
memberitahukan tentang si Rahib. Akhirnya Rahib didatangkan pada Raja dan
dikatakan kepada Rahib, “Kembalilah pada agamamu!” Namun Rahib enggan. Lantas
didatangkan padanya gergaji dan diletakkan di tengah kepalanya. Lalu dibelahlah
kepalanya dan terjatuhlah belahan kepala tersebut. Setelah itu, sahabat dekat
raja dipanggil ke hadapannya, dan dikatakan kepadanya, “Kembalilah pada
ajaranmu!” Ia pun enggan. Lantas terjadilah hal yang sama padanya sebagaimana
yang terjadi pada Rahib.
Kemudian giliran pemuda tersebut maka dikatakan padanya:
“Kembalilah pada agamamu!” Namun pemuda enggan. Kemudian pemuda tersebut
diserahkan kepada pasukan dan Raja berkata, “Pergilah kalian ke gunung ini dan
itu, dakilah gunung tersebut bersamanya, jika kalian telah sampai di puncaknya
(tanyailah dia), apabila ia kembali pada agamanya, bebaskan ia, namu jika
tidak, lemparkanlah ia dari gunung tersebut.” Lantas pasukan raja tersebut
membawa  pemuda itu dengan mendaki
gunung. Lalu pemuda itu berdoa:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا
شِئْتَ
“Ya Allah, lindungilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.”
Seketika gunung berguncang dan semua pasukan raja jatuh,
maka si pemuda itu kembali kepada sang Raja. Ketika sampai, sang Raja bertanya,
“Apa yang dilakukan teman-temanmu?” Ia menjawab, “Allah telah melindungiku dari
tindakan mereka.” Lalu pemuda tersebut dibawa lagi oleh pasukan raja yang
lainnya. Raja berkata kepada pasukan tersebut, “Pergilah kalian ke tengah
lautan dengan kapal, jika ia mau kembali dari agamanya, bebaskan dia, namun
jika tidak, tenggelamkan ia.” Mereka pun lantas pergi. Lalu pemuda tersebut
berdoa:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا
شِئْتَ
“Ya Allah, lindungilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.”
Tiba-tiba kapal pun terbalik, pasukan raja tenggelam, dan si
Pemuda tersebut kembali mendatangi raja. Raja pun berkata, “Apa yang dilakukan
teman-temanmu?” Ia menjawab: “Allah telah melindungiku dari tindakan mereka.”
Lalu pemuda berkata kepada raja, “Sungguh engkau tidak bisa
membunuhku kecuali engkau melakukan seperti apa yang saya suruh.” Raja
bertanya, “Apa itu?” Pemuda itu menjawab, “Kumpulkanlah rakyat di suatu bukit,
lalu saliblah aku, kemudian ambillah anak panah dari tempat panahku, kemudian
ucapkanlah:
بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ
“Dengan nama Allah, Tuhan dari pemuda ini.”
“Lalu panahlah aku, maka apabila engkau melakukannya niscaya
engkau  dapat membunuhku.”  
Maka Raja mengumpuklan seluruh Rakyat. Lalu si Pemuda
tersebut disalib, kemudian raja 
mengambil anak panah milik  si
pemuda itu kemudian diletakkan di busurnya, dan mengucapkan, 
بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ
“Dengan nama Allah Tuhan Pemuda ini.”
Lalu dilepaslah anak 
panah dan  mengenai pelipisnya,
lalu pemuda tersebut mati. 
Maka setelah itu manusia pun berkata:
آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ...
آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ... آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ...
“Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu… Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu… Kami beriman kepada Tuhan Pemuda itu.”
Akhirnya Raja mendatangi mereka, kemudian ada yang berkata:
“Apakah engkau melihat apa yang selama ini engkau khawatirkan? Demi Allah…
benar-benar terjadi apa yang kamu khawatirkan, sungguh manusia telah beriman
pada Tuhan Pemuda itu.” Kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat parit
dan menyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Siapa yang tidak mau kembali
dari agamanya, maka lemparkanlah ia ke dalam api.” Mereka pun melakukannya,
hingga giliran seorang wanita bersama bayinya, tatkala wanita ini khawatir
terjatuh dalam parit tersebut, bayi yang digendong pun berkata:
“Wahai ibu, bersabarlah karena engkau di atas kebenaran.” (HR. Imam Muslim, no. 3005)
Teguh di atas Keimanan
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....
Kisah ini menggambarkan betapa berat ujian yang dialami kaum
beriman. Mereka dibakar hidup-hidup dalam parit, namun tetap memilih surga
daripada keselamatan dunia. Allah menegaskan:
أَم حَسِبتُم أَن تَدخُلُوالجَنَّةَ
وَلَمَّا یَأتِكُم مَّثَلُ الَّذِینَ خَلَوا مِن قَبلِكُمۖ مَّسَّتهُمُ البَأسَاءُ
والضَّرَّاءُ وَزُلزِلُوا 
Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana orang-orang sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan hebat...” (QS. Al-Baqarah: 214)
Kisah Ashabul Ukhdud mengajarkan bahwa iman sejati menuntut
keteguhan dan keberanian, meski harus menghadapi nyawa sebagai taruhannya.
Sementara kita, hidup di masa damai tanpa siksaan seperti mereka, seharusnya
lebih bersyukur dan bersemangat memperkuat iman serta amal sholih.
Sihir Tak Akan Beruntung
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....
Kisah ini juga menjadi penegasan bahwa sihir adalah
perbuatan yang dibenci Allah Ta’ala. Pemuda tersebut berkata dengan penuh iman:
“Ya Allah, apabila ajaran Rahib lebih Engkau cintai
daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini.”
Dan benar, Allah menunjukkan kebesaran-Nya.
 Allah berfirman:
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ
أَتَىٰ
“Tukang sihir tidak akan pernah beruntung di mana pun ia berada.” (QS. Thaha: 69)
Syaikh As-Sa‘diy rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya: 
كَيْدُهُمْ وَمَكْرُهُمْ لَيْسَ
بِمُثْمِرٍ لَهُمْ
“Tipu daya dan makar mereka tidak akan memberi manfaat sedikit pun bagi mereka.” (Tafsir As Sa’dy: 509)
Sihir hanyalah ilusi, tipuan, dan bentuk perlawanan terhadap
tauhid. Karenanya, seorang mukmin wajib menjauhinya serta meyakini bahwa
kesembuhan dan keselamatan hanya datang dari Allah semata.
Hakikat Wali Allah
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala....
Allah berikan karamah dan pertolongan kepada hamba yang
bertakwa. Sebagaimana firman-Nya:
 أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yunus: 62–63)
Karamah bukanlah kemampuan aneh seperti kebal senjata atau
terbang di udara, namun kemuliaan iman dan keteguhan dalam ketaatan. Pemuda
dalam kisah ini menjadi wali Allah karena kesabarannya mempertahankan kebenaran
hingga akhir hayat.
Refleksi Penutup
Saudaraku fillah...
 Kisah Ashabul Ukhdud
adalah cermin keteguhan iman dan pelajaran abadi bagi setiap muslim. Dunia bisa
saja menawarkan keamanan, jabatan, atau kelapangan, tetapi surga hanya
disediakan bagi mereka yang bersabar di jalan Allah.
Mari kita jadikan kisah ini penguat hati dalam menghadapi
cobaan, baik kecil maupun besar.
 Karena sebagaimana
bayi dalam kisah itu menasihati ibunya — dengan bahasa fitrah dan keyakinan
yang murni:
“Wahai Ibu, bersabarlah, engkau berada di atas
kebenaran.”
Semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran hingga akhir
hayat, menjauhkan kita dari tipu daya dunia, dan mengumpulkan kita bersama
orang-orang beriman di surga-Nya.
Referensi:
- Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘diy. (2002). Taisīr al-Karīm
ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān. Mu’assasah ar-Risālah, Beirut.
 
- An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. (1996). Syarḥ Shahīh Muslim.
Dār al-Ma‘rifah, Beirut.
 
- Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.
Dār Ṭayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzī‘, Riyadh.
 
- Al-Qurṭubī, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad. (2006).
Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, Kairo.
 
- Asy-Syaukānī, Muhammad bin ‘Ali. (1993). Fatḥ al-Qadīr:
Al-Jāmi‘ bayna Fannai ar-Riwāyah wa ad-Dirāyah min ‘Ilm at-Tafsīr. Dār Ibn
Katsīr, Damaskus.
 
- Ibnu Hajar al-‘Asqalānī. (1986). Fatḥ al-Bārī bi Syarḥ
Shahīh al-Bukhārī. Dār al-Ma‘rifah, Beirut.
 
- Al-Qur’an al-Karim. Mushaf Madinah. Mujamma‘ al-Malik Fahd
li Ṭibā‘at al-Muṣḥaf asy-Syarīf, Madinah al-Munawwarah.
 
- Imam Muslim bin al-Hajjaj. (n.d.). Al-Jāmi‘ ash-Shahīḥ
(Shahīh Muslim). Dār Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī, Beirut.
 
Penulis:
Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)