Api Dalam Sekam: Amarah Korban Bullying Yang Tak Terobati

5 hari yang lalu
133
4 menit baca
Api Dalam Sekam: Amarah Korban Bullying Yang Tak Terobati

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh korban bullying kembali mengguncang masyarakat Indonesia. Pada November 2025, publik dikejutkan oleh peristiwa tragis di sebuah pesantren di Aceh, di mana seorang santri membakar rekannya karena diduga menjadi korban perundungan terus-menerus. Beberapa waktu sebelumnya, kasus serupa terjadi di SMAN 72 Jakarta, ketika seorang siswa yang sering dibully akhirnya terlibat dalam tindakan agresif yang berujung fatal. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa bullying bukan hanya menyisakan luka, tetapi bisa memicu letupan emosi yang berbahaya jika luka itu tidak tertangani.

Bullying bukan sekadar ejekan atau kekerasan fisik ringan. Dalam psikologi, bullying diartikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang, dengan tujuan menyakiti atau menekan seseorang yang dianggap lemah. Bagi korban, tindakan tersebut dapat memunculkan rasa tidak berdaya, rendah diri, malu, dan terasing.

Rasa sakit itu tidak hanya berhenti di permukaan. Dalam jangka panjang, korban mengalami trauma psikologis, gangguan kecemasan, depresi, bahkan perubahan kepribadian. Banyak korban bullying tampak diam di luar, tetapi dalam batinnya menyimpan kemarahan, rasa dendam, dan keinginan untuk membalas, terutama jika mereka tidak memiliki saluran sehat untuk mengekspresikan emosi tersebut.


I. Dari Luka Menjadi Ledakan: Proses Psikologis yang Terjadi

Bagaimana mungkin seorang korban yang awalnya pasif bisa berubah menjadi pelaku agresi? Psikologi modern menjelaskan beberapa mekanisme yang sering terjadi:

1. Akumulasi stres dan kemarahan terpendam
Saat seseorang terus-menerus diperlakukan buruk, tubuh dan pikirannya berada dalam kondisi stres kronis. Hormon kortisol meningkat, sedangkan kontrol emosi melemah. Akumulasi ini bisa memuncak dalam bentuk ledakan agresi mendadak.

2. Learned helplessness dan kompensasi agresif.
Korban bullying lama-kelamaan merasa tidak punya kendali atas hidupnya. Ketika akhirnya ada kesempatan untuk “berkuasa”, ia bisa mengekspresikannya secara ekstrem misalnya dengan kekerasan.

3. Disosiasi dan kehilangan empati
Trauma berat bisa membuat korban “mematikan” perasaan empati demi bertahan. Dalam kondisi ini, tindakannya tidak lagi dilandasi oleh pertimbangan moral, melainkan dorongan emosional yang destruktif.

4. Modeling atau pembelajaran sosial 
Korban yang terbiasa melihat kekerasan bisa meniru pola itu. Mereka belajar bahwa “yang kuat adalah yang menyerang”, sehingga meniru pelaku bullying sebagai bentuk adaptasi sosial.


II. Ketika Lingkungan Tidak Menjadi Penolong

Salah satu penyebab korban menjadi agresif adalah minimnya dukungan dari lingkungan. Banyak korban bullying merasa tidak dipercaya, bahkan disalahkan. Ketika mereka tidak mendapat ruang aman di sekolah atau pesantren, maka rasa sakit itu tumbuh menjadi api dalam sekam.

Guru, pengasuh, dan teman sebaya memiliki peran penting dalam mendeteksi perubahan emosi korban. Sikap menarik diri, mudah marah, atau tiba-tiba agresif merupakan tanda bahaya bahwa korban sedang berada di ambang keputusasaan.


III. Perspektif Islam: Luka Batin dan Pengendalian Amarah

Dalam Islam, setiap bentuk kezaliman, termasuk perundungan, adalah dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمُسلِمُ أَخُو الْمُسلِمِ  لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسلِمُهُ.

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada orang yang menzhaliminya).” (HR. al-Bukhari no. 2442  dan Muslim no. 2580)

Namun, Islam juga menekankan pentingnya mengelola emosi dan membalas keburukan dengan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

اِدْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحسنُ فَإِذَا الَّذِي بَینَكَ وَبَینَه عَدٰوَةٌ كَأَنَّه وَلِيٌّ حَمِیم (34)

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik; maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia.” (QS. Fushilat: 34)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.” (HR. al-Bukhari no. 6114  dan Muslim no. 2609)

Dengan bimbingan iman, seorang korban diajarkan bahwa menahan amarah bukan berarti kalah, melainkan menang terhadap hawa nafsu.


IV. Peran Orang Tua dan Guru dalam Penyembuhan Luka

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua dan para guru untuk membantu menyembuhkan luka para korban bullying:

1. Mendengarkan tanpa menghakimi
Korban bullying sering hanya butuh didengarkan. Orang tua dan guru hendaknya membuka ruang dialog yang aman tanpa langsung menasihati atau menyalahkan.

2. Membangun konsep diri yang sehat
Bantu korban menyadari bahwa harga dirinya tidak ditentukan oleh ejekan orang lain, tetapi oleh nilai dirinya di hadapan Allah.

3. Melatih regulasi emosi
Ajarkan cara mengelola marah melalui salat, zikir, olahraga, dan menulis jurnal emosi.

4. Mendorong konseling dan pendampingan spiritual
Sekolah perlu menyediakan layanan bimbingan konseling berbasis nilai Islam bukan hanya untuk akademik, tetapi juga kesejahteraan mental dan ruhani siswa.


V. Penutup

Korban bullying yang berubah menjadi agresif bukanlah “penjahat tiba-tiba”, melainkan jiwa yang terluka terlalu dalam. Luka itu tidak terlihat, tetapi nyata menumpuk menjadi kemarahan yang akhirnya meledak. Tugas kita sebagai pendidik, orang tua, dan masyarakat adalah mengobati luka itu sebelum membakar segalanya.


Referensi:

  • Olweus, D. (2013). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Oxford: Blackwell.
  • Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
  • Seligman, M. E. P. (1975). Helplessness: On Depression, Development, and Death. San Francisco: W. H. Freeman.
  • Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. (2000). Shahih Al-Bukhari (Cet. 2). Dar ath-Thawq an-Najah.
  • Muslim bin Hajjaj. (1991). Shahih Muslim. (M. F. Abd al-Baqi, Ed.). Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
  • Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
  • Wahyuni, S. (2024). Bullying di Sekolah dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan Islam, 6(2), 87–98.

Penulis:

Agus Haryatmo, S.Psi., M.Psi.
(Psikolog Klinis RSO dr. Soeharso Surakarta)

Download PDF