Kepemimpinan di lembaga pendidikan dan dakwah seringkali dihadapkan pada dua tuntutan besar: pertama, tuntutan profesionalisme manajerial; dan kedua, tuntutan integritas spiritual. Di sinilah letak urgensi Leadership Otentik — kepemimpinan yang jujur, penuh semangat, dan kokoh berpegang pada nilai transendental. Bagaimana seorang pemimpin lembaga Islam mampu menyinergikan tugas duniawi (manajemen) dengan tugas ukhrawi (amanah dakwah)?
Tiga Pilar Fondasi Kepemimpinan Otentik Islami
1. Tauhid: Landasan Visi dan Aksi
Kepemimpinan otentik dalam Islam dimulai dengan “Tauhid”,
dia meyakini sepenuhnya bahwa seluruh amanah kepemimpinan, baik di sekolah,
majelis taklim, maupun akademi, adalah pengabdian kepada Allah dan akan
dipertanggungjawaban kelak. Pemimpin otentik meyakini bahwa segala keberhasilan
dan kesulitan datang dari Allah, ia tidak terpengaruh oleh tekanan manusia dan
dia tidak berubah kekokohan dan semangatnya ketika tidak mendapatkan pujian
dunia.
Integritas muncul dari keyakinan yang agung, dia tidak akan
tergoda oleh kepentingan pribadi atau kelompok jika ia tahu bahwa pengawas
sejatinya adalah Allah.
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (Al-An'am: 162).
Pilar Tauhid ini memastikan bahwa Visi lembaga tidak hanya
berorientasi pada jumlah murid atau donasi, tetapi pada Tujuan Akhirat yaitu
Ridha dan Cinta Allah Ta’ala.
2. Integritas (Amanah) sebagai Mata Uang Kepemimpinan
Integritas adalah selarasnya hati, ucapan, dan perbuatan.
Dalam konteks lembaga, integritas berarti menjalankan amanah (kepercayaan) yang
diberikan oleh umat baik donatur/muhsinin, wali murid, dan anggota tim. Tanpa
integritas, kepercayaan (Trust) yang merupakan modal sosial terpenting nirlaba
akan runtuh.
Pemimpin otentik tidak hanya menuntut integritas dari
pengurus, guru atau pun para dai-nya, tetapi pertama-tama menerapkannya pada
diri sendiri (Uswah Hasanah), dia akan menjadi pribadi yang penuh Amanah, jujur
konsisten dan selalu berkata benar. Dia akan menjauhi karater dusta, khianat,
ingkar janji dan masa bodoh yang sifat tersebut merupakan peringai orang
munafik.
Nabi ﷺ bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat”. (HR. al Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59).
Seorang pemimpin lembaga pendidikan dan dakwah harus berada
di garis terdepan dalam menjauhi sifat-sifat tersebut. Integritas harus
termanifestasi dalam pemenuhan kebutuhan para pengurus, pencapaian target
dengan program kerja yang terukur dan terevaluasi, pelaporan keuangan yang
transparan, penunaian janji kepada para siswa, wali murid, jamaah pengajian
maupun pada donatur. Dia akan selalu adil dalam setiap kebijakan bagi seluruh
pengurus dan seluruh bawahan maupun kepada segenap mitra lembaga.
3. Transparansi dan Self-Awareness
Kepemimpinan otentik menuntut Transparansi dan Kesadaran
Diri (Self-Awareness). Kesadaran diri adalah kemampuan pemimpin untuk jujur
mengenai kelemahan dan kekuatannya, serta dampaknya terhadap tim.
- Transparansi
Internal: Berani membuka data dan informasi kepada tim, yang menghilangkan
politik kantor dan hoaks internal.
- Vulnerability
(keberanian untuk menunjukkan diri yang tidak sempurna ) yang Terukur: Pemimpin
yang otentik tidak takut mengakui kesalahan atau kekurangan dengan terus
berupaya paling depan dalam konsistensi kemajuan dan semangat untuk growing
(tumbuh). Ini justru membangun kedekatan dan kepercayaan tim.
Tantangan Internal: Kepemimpinan Otentik Diuji untuk memilih
2 keadaan
Kepemimpinan otentik bukanlah status yang dicapai, melainkan
proses berkelanjutan yang diuji pada sisi Integritas (Al-Istiqaamah)
Leadership otentik di sebuah lembaga Islam selalu berada di
persimpangan antara kebenaran yang sulit dan kemudahan yang berisiko. Pemimpin
harus secara konsisten memilih "misi yang benar," meskipun itu
berarti menempuh "jalan yang lebih sulit," karena kegagalan dalam
konsistensi ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
Pilihan sulit ini menuntut pemimpin mengaktifkan Tauhid
dalam manajemen. Sebagai contoh, seorang pimpinan otentik dihadapkan pada
persimpangan antara Kualitas Tarbiyah (Pendidikan Karakter) dan Kebutuhan
Finansial Cepat. Jika ia dihadapkan pada donasi besar dari entitas yang
sumbernya syubhat (tidak jelas kehalalannya), pemimpin yang otentik akan
menolak donasi tersebut. Ia memilih menunda renovasi sekolah demi menjaga
‘kesucian’ sumber dana, menegakkan Al-Wār'u (kehati-hatian) sebagai prioritas
di atas kemewahan fasilitas.
Di sisi sumber daya manusia, integritas diuji melalui
Keadilan (Al-'Adl). Ketua lembaga harus memiliki keberanian spiritual untuk
memberhentikan Guru Senior yang underperforming (Kinerja di Bawah Standar),
meskipun hal itu menyakitkan dan berpotensi memicu konflik internal atau
kekecewaan beberapa pihak jika memang susah untuk dibenahi. Leadership ini
mengutamakan hak murid dan orang tua wali murid untuk anak mereka mendapatkan
pengajaran terbaik di atas kenyamanan relasi internal.
Sungguh, kegagalan pada konsistensi dalam menegakkan core values ini adalah
Pengkhianatan terhadap Amanah. Leader yang otentik menjadikan istiqāmah sebagai
janji spiritual, menempatkan ats-tsawāb (pahala) di atas perasaan dan
pengakuan, dan membuktikan bahwa kepemimpinan yang benar adalah tentang memilih
jalan yang lebih berat demi menjaga kemuliaan misi lembaga.
Penerapan Transparansi: Audit Spiritual dan Kerendahan Hati
Transparansi bukan hanya laporan keuangan yang
dipublikasikan (akuntabilitas duniawi), tetapi juga keberanian untuk
menunjukkan diri yang tidak sempurna.
Kepemimpinan otentik dalam bingkai Islam adalah kepemimpinan
yang selalu bersemangat memimpin yang dibarengi dengan berani jujur kepada diri
sendiri, tim, dan yang terpenting jujur
kepada Allah. Ia adalah fondasi yang akan menentukan apakah sebuah lembaga akan bertahan dan growing serta memberikan
dampak positif yang signifikan dan konsisten, ataukah hanya akan menjadi badan
kegiatan harian yang melelahkan tanpa makna dan dampak.
Leadership otentik menjadikan transparansi “data kelemahan”
sebagai starting point (titik awal) menuju perbaikan, bukan sebagai risiko yang
harus disembunyikan. Sebelum meluncurkan program besar seperti Akademi baru,
cabang baru maka seorang Leader sejati
melakukan "audit spiritual" dengan berani membuka data mentah
kelemahan Lembaga yang dipimpinnya
kepada tim inti.
Pengakuan yang didasari tawāḍu’ (kerendahan hati) adalah
kuncinya. Leader berani menanggalkan jubah jabatannya, mengakui secara
eksplisit: "Program kita tahun lalu gagal mencapai target bukan karena
anggaran, melainkan karena self-awareness saya kurang dalam mengelola waktu dan
prioritas tim."
Tidak Alergi Kritik: Memburu Kebenaran
Kekuatan Leader ini teruji saat menghadapi kritik pedas.
Leader yang otentik tidak hanya meminta feedback jujur, tetapi juga secara
aktif memburu masukan dan menyambut kritikan.
Misalnya, ketika seorang guru junior menyampaikan bahwa
kebijakan baru Kepala Sekolah justru menghambat kreativitas, Leader otentik
tidak membela diri. Ia merespons dengan: "Terima kasih atas keberanian
Anda. Kritikan ini adalah hujjah (dalil) bagi saya untuk meninjau ulang.
Kebenaran lebih utama daripada kekokohan jabatan saya."
Sikap ini menghilangkan toxic culture (budaya beracun) di
mana bawahan hanya berani mengangguk dan takut menggeleng. Dengan menjadikan
Kebenaran di atas ego, Leader mencontohkan bahwa tawāḍu’ adalah fondasi terkuat
yang membangun kepercayaan kolektif dan memastikan istiqāmah (konsistensi)
menuju puncak visi lembaga. Pemimpin otentik itu berupaya untuk merutinkan sesi
“kritik membangun” dan mendokumentasikan tindak lanjutnya.
Kepemimpinan otentik bukan romantisasi ideal belaka —ia
praktik yang menuntut keberanian dan konsistensi. Lembaga yang memadukan
tauhid, amanah, dan transparansi tidak hanya menjaga reputasi, tetapi juga
membangun keberkahan jangka panjang. Pilihan yang sulit hari ini sering menjadi
warisan kebaikan untuk generasi mendatang.
Studi Kasus: Visi Transformatif Melawan Kemapanan
Analogi Pemicu: Gerakan “Muda-Mudi Hijrah” vs. Dewan
Kemakmuran Masjid “Tua”
Bisa dibayangkan bahwa di pusat Jakarta, berdiri kokoh
Lembaga “Al-Mustaqīm”, sebuah lembaga dakwah dan pendidikan tradisional berusia
55 tahun. Lembaga ini memiliki TK/SD/SMP Islam unggulan dan Majelis Taklim
besar. Al-Mustaqīm dipimpin oleh Bapak Fathul, seorang Leader yang shalih. Visi
beliau, "Menjaga Tradisi Ilmu dan Amal," sangat mulia. Namun,
Leadership beliau berhadapan dengan manajerial yang kaku.
Manager (Kepala Bagian Dakwah) Bapak Karim, fokus utamanya
adalah menjaga jadwal Majelis Taklim tidak berubah (konsistensi jadwal) dan
menjaga SOP donasi cash (keteraturan proses). Doing Things Right dalam konteks
1980-an.
Tiba-tiba, muncul di seberang jalan Komunitas Islam Muda
yang dipimpin oleh Ustadz Taufiq, seorang Leader muda yang visioner. Komunitas
ini tak punya gedung, hanya co-working space, tetapi visinya adalah
"Mengintegrasikan Ilmu Syar'i dan Teknologi untuk Dakwah Global."
Apa yang terjadi?
Dalam tiga tahun, Komunitas Islam Muda (yang manajerial-nya sangat adaptif) berhasil
menjangkau 50.000 anak muda melalui platform digital, meluncurkan program
beasiswa online, dan donasinya masuk melalui QR code yang transparan. Sementara
itu, Majelis Taklim Al-Mustaqīm yang prosesnya
mengalami penuaan jamaah. Mereka Doing Things Right (jadwal taklim tidak
pernah meleset), tetapi mereka Doing the Wrong Things (menggunakan platform
yang tidak lagi relevan).
Ini adalah kekalahan Leader yang lalai dari Manager yang
Visioner. Kiai Fathul, seorang Leader yang agung, berisiko mengalami kekalahan
misi bukan karena kekurangan Ikhlāṣ, tetapi karena kegagalan untuk memimpin
perubahan manajerial yang dibutuhkan.
Leadership Mengubah Paradigma Manager
Persimpangan ini menuntut Kiai Fathul untuk menanggalkan
topi Leader tradisionalnya dan menjadi Leader Transformatif yang berani
mengusik kenyamanan manajerial Bapak Karim.
Mengaktifkan Self-Awareness Melalui Krisis
Kiai Fathul yang otentik, di tengah penurunan drastis donasi
tunai, tidak menyalahkan persaingan, melainkan memulai audit spiritual dan
manajerial pada dirinya sendiri.
Beliau memanggil Bapak Karim dan bertanya, bukan tentang
keterlambatan jadwal, melainkan tentang relevansi: "Bapak Karim, kita
berhasil Doing Things Right (laporan donasi cash sempurna). Tapi apakah kita
Doing the Right Things? Data menunjukkan donatur muda pergi karena proses kita
rumit dan laporan kita tidak tersedia online. Self-Awareness saya mengatakan,
kelalaian ini adalah khianat terhadap amanah digital."
Leadership Menuntut Ijtihād Manajerial
Kiai Fathul kemudian menggunakan kekuatannya sebagai Leader
untuk menuntut mujahadah (usaha maksimal) dari Manager
"Bapak Karim, Istiqomah tidak hanya konsisten dengan
SOP lama. Istiqomah adalah konsisten dalam mencapai Ridha Allah. Sekarang,
ridha Allah menuntut kita untuk berdakwah menggunakan platform yang efektif.
Tugas Anda bukan lagi menjaga SOP lama, tetapi menciptakan SOP Transparansi
Baru yang membuat pelaporan dana donatur bisa diakses real-time."
Kiai Fathul memaksa Bapak Karim, yang hanya terikat pada
output (keteraturan), untuk memikirkan impact (dampak) spiritual. Ia
menggerakkan Manager untuk melakukan perubahan bidang yang paling dibenci oleh
Manager yang fokus pada stabilitas.
Sinergi: Tawadu’ dan Visi Bersama
Kemenangan Leader terjadi ketika Manager menerima tantangan
perubahan dengan tawāḍu’ (kerendahan hati) dan integritas. Bapak Karim akhirnya
'menangis' dan berkata: "Terima kasih atas teguran ini. Saya terlalu
nyaman di zona Al-Intiẓām saya, sampai lupa bahwa amanah ilmu harus disampaikan
dengan alat yang paling efektif."
Kiai Fathul (Leader) memberikan Visi Digital (The Right
Things), dan Bapak Karim (Manager yang bertobat) menggunakan skill
Manajerial-nya untuk merancang SOP Digital Fundraising dan Pelaporan Transparan
yang baru. Manager yang powerful kini melayani visi yang benar.
Ini membuktikan bahwa Leadership yang mengemban visi ukhrawi
akan selalu lebih powerful daripada Manajerial yang hanya terikat pada tugas
fungsional. Karena visi mampu meruntuhkan proses demi menyelamatkan misi.
(Yulianto: 2023/210).
Referensi
- Al-Qur’an Al-Karim, Surah Al-An'am.
- Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. (Tahun Terbit). Shahih
Al-Bukhari. (Penjelasan Kitab Hadis).
- Hasan, Ali. 2018. Implikasi Tauhid dalam Kepemimpinan
Pendidikan Islam. Tesis Magister: Universitas Islam Jakarta.
- Fikri, Abdullah. 2022. Konsep Amanah dan Integritas dalam
Pengelolaan Lembaga Nirlaba Islam. Jurnal Manajemen Dakwah, Vol 5. No. 2.
- Yulianto, Aris. 2023. Kepemimpinan Transformatif dan
Akuntabilitas di Lembaga Nirlaba Islam. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol
15. No. 3. Yogyakarta: UMY Press.
Penulis:
Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)