Kepemimpinan Otentik; Leadership Yang Berakar Pada Iman Dan Integritas

1 minggu yang lalu
148
9 menit baca
Kepemimpinan Otentik; Leadership Yang Berakar Pada Iman Dan Integritas

Kepemimpinan di lembaga pendidikan dan dakwah seringkali dihadapkan pada dua tuntutan besar: pertama, tuntutan profesionalisme manajerial; dan kedua, tuntutan integritas spiritual. Di sinilah letak urgensi Leadership Otentik — kepemimpinan yang jujur, penuh semangat, dan kokoh berpegang pada nilai transendental. Bagaimana seorang pemimpin lembaga Islam mampu menyinergikan tugas duniawi (manajemen) dengan tugas ukhrawi (amanah dakwah)?


Tiga Pilar Fondasi Kepemimpinan Otentik Islami

1. Tauhid: Landasan Visi dan Aksi
Kepemimpinan otentik dalam Islam dimulai dengan “Tauhid”, dia meyakini sepenuhnya bahwa seluruh amanah kepemimpinan, baik di sekolah, majelis taklim, maupun akademi, adalah pengabdian kepada Allah dan akan dipertanggungjawaban kelak. Pemimpin otentik meyakini bahwa segala keberhasilan dan kesulitan datang dari Allah, ia tidak terpengaruh oleh tekanan manusia dan dia tidak berubah kekokohan dan semangatnya ketika tidak mendapatkan pujian dunia.

Integritas muncul dari keyakinan yang agung, dia tidak akan tergoda oleh kepentingan pribadi atau kelompok jika ia tahu bahwa pengawas sejatinya adalah Allah.

Allah berfirman:

  قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (Al-An'am: 162).

Pilar Tauhid ini memastikan bahwa Visi lembaga tidak hanya berorientasi pada jumlah murid atau donasi, tetapi pada Tujuan Akhirat yaitu Ridha dan Cinta Allah Ta’ala.

2. Integritas (Amanah) sebagai Mata Uang Kepemimpinan
Integritas adalah selarasnya hati, ucapan, dan perbuatan. Dalam konteks lembaga, integritas berarti menjalankan amanah (kepercayaan) yang diberikan oleh umat baik donatur/muhsinin, wali murid, dan anggota tim. Tanpa integritas, kepercayaan (Trust) yang merupakan modal sosial terpenting nirlaba akan runtuh.

Pemimpin otentik tidak hanya menuntut integritas dari pengurus, guru atau pun para dai-nya, tetapi pertama-tama menerapkannya pada diri sendiri (Uswah Hasanah), dia akan menjadi pribadi yang penuh Amanah, jujur konsisten dan selalu berkata benar. Dia akan menjauhi karater dusta, khianat, ingkar janji dan masa bodoh yang sifat tersebut merupakan peringai orang munafik.

Nabi bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat”. (HR. al Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59).

Seorang pemimpin lembaga pendidikan dan dakwah harus berada di garis terdepan dalam menjauhi sifat-sifat tersebut. Integritas harus termanifestasi dalam pemenuhan kebutuhan para pengurus, pencapaian target dengan program kerja yang terukur dan terevaluasi, pelaporan keuangan yang transparan, penunaian janji kepada para siswa, wali murid, jamaah pengajian maupun pada donatur. Dia akan selalu adil dalam setiap kebijakan bagi seluruh pengurus dan seluruh bawahan maupun kepada segenap mitra lembaga.

3. Transparansi dan Self-Awareness
Kepemimpinan otentik menuntut Transparansi dan Kesadaran Diri (Self-Awareness). Kesadaran diri adalah kemampuan pemimpin untuk jujur mengenai kelemahan dan kekuatannya, serta dampaknya terhadap tim.

  • Transparansi Internal: Berani membuka data dan informasi kepada tim, yang menghilangkan politik kantor dan hoaks internal.
  • Vulnerability (keberanian untuk menunjukkan diri yang tidak sempurna ) yang Terukur: Pemimpin yang otentik tidak takut mengakui kesalahan atau kekurangan dengan terus berupaya paling depan dalam konsistensi kemajuan dan semangat untuk growing (tumbuh). Ini justru membangun kedekatan dan kepercayaan tim.

Tantangan Internal: Kepemimpinan Otentik Diuji untuk memilih 2 keadaan

Kepemimpinan otentik bukanlah status yang dicapai, melainkan proses berkelanjutan yang diuji pada sisi Integritas (Al-Istiqaamah)

Leadership otentik di sebuah lembaga Islam selalu berada di persimpangan antara kebenaran yang sulit dan kemudahan yang berisiko. Pemimpin harus secara konsisten memilih "misi yang benar," meskipun itu berarti menempuh "jalan yang lebih sulit," karena kegagalan dalam konsistensi ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.

Pilihan sulit ini menuntut pemimpin mengaktifkan Tauhid dalam manajemen. Sebagai contoh, seorang pimpinan otentik dihadapkan pada persimpangan antara Kualitas Tarbiyah (Pendidikan Karakter) dan Kebutuhan Finansial Cepat. Jika ia dihadapkan pada donasi besar dari entitas yang sumbernya syubhat (tidak jelas kehalalannya), pemimpin yang otentik akan menolak donasi tersebut. Ia memilih menunda renovasi sekolah demi menjaga ‘kesucian’ sumber dana, menegakkan Al-Wār'u (kehati-hatian) sebagai prioritas di atas kemewahan fasilitas.

Di sisi sumber daya manusia, integritas diuji melalui Keadilan (Al-'Adl). Ketua lembaga harus memiliki keberanian spiritual untuk memberhentikan Guru Senior yang underperforming (Kinerja di Bawah Standar), meskipun hal itu menyakitkan dan berpotensi memicu konflik internal atau kekecewaan beberapa pihak jika memang susah untuk dibenahi. Leadership ini mengutamakan hak murid dan orang tua wali murid untuk anak mereka mendapatkan pengajaran terbaik di atas kenyamanan relasi internal.

Sungguh, kegagalan pada konsistensi dalam  menegakkan core values ini adalah Pengkhianatan terhadap Amanah. Leader yang otentik menjadikan istiqāmah sebagai janji spiritual, menempatkan ats-tsawāb (pahala) di atas perasaan dan pengakuan, dan membuktikan bahwa kepemimpinan yang benar adalah tentang memilih jalan yang lebih berat demi menjaga kemuliaan misi lembaga.


Penerapan Transparansi: Audit Spiritual dan Kerendahan Hati

Transparansi bukan hanya laporan keuangan yang dipublikasikan (akuntabilitas duniawi), tetapi juga keberanian untuk menunjukkan diri yang tidak sempurna.

Kepemimpinan otentik dalam bingkai Islam adalah kepemimpinan yang selalu bersemangat memimpin yang dibarengi dengan berani jujur kepada diri sendiri,  tim, dan yang terpenting jujur kepada Allah. Ia adalah fondasi yang akan menentukan apakah sebuah lembaga  akan bertahan dan growing serta memberikan dampak positif yang signifikan dan konsisten, ataukah hanya akan menjadi badan kegiatan harian yang melelahkan tanpa makna dan dampak.

Leadership otentik menjadikan transparansi “data kelemahan” sebagai starting point (titik awal) menuju perbaikan, bukan sebagai risiko yang harus disembunyikan. Sebelum meluncurkan program besar seperti Akademi baru, cabang baru maka  seorang Leader sejati melakukan "audit spiritual" dengan berani membuka data mentah kelemahan  Lembaga yang dipimpinnya kepada tim inti.

Pengakuan yang didasari tawāḍu’ (kerendahan hati) adalah kuncinya. Leader berani menanggalkan jubah jabatannya, mengakui secara eksplisit: "Program kita tahun lalu gagal mencapai target bukan karena anggaran, melainkan karena self-awareness saya kurang dalam mengelola waktu dan prioritas tim."


Tidak Alergi Kritik: Memburu Kebenaran

Kekuatan Leader ini teruji saat menghadapi kritik pedas. Leader yang otentik tidak hanya meminta feedback jujur, tetapi juga secara aktif memburu masukan dan menyambut kritikan.

Misalnya, ketika seorang guru junior menyampaikan bahwa kebijakan baru Kepala Sekolah justru menghambat kreativitas, Leader otentik tidak membela diri. Ia merespons dengan: "Terima kasih atas keberanian Anda. Kritikan ini adalah hujjah (dalil) bagi saya untuk meninjau ulang. Kebenaran lebih utama daripada kekokohan jabatan saya."

Sikap ini menghilangkan toxic culture (budaya beracun) di mana bawahan hanya berani mengangguk dan takut menggeleng. Dengan menjadikan Kebenaran di atas ego, Leader mencontohkan bahwa tawāḍu’ adalah fondasi terkuat yang membangun kepercayaan kolektif dan memastikan istiqāmah (konsistensi) menuju puncak visi lembaga. Pemimpin otentik itu berupaya untuk merutinkan sesi “kritik membangun” dan mendokumentasikan tindak lanjutnya.

Kepemimpinan otentik bukan romantisasi ideal belaka —ia praktik yang menuntut keberanian dan konsistensi. Lembaga yang memadukan tauhid, amanah, dan transparansi tidak hanya menjaga reputasi, tetapi juga membangun keberkahan jangka panjang. Pilihan yang sulit hari ini sering menjadi warisan kebaikan untuk generasi mendatang.


Studi Kasus: Visi Transformatif Melawan Kemapanan

Analogi Pemicu: Gerakan “Muda-Mudi Hijrah” vs. Dewan Kemakmuran Masjid “Tua”

Bisa dibayangkan bahwa di pusat Jakarta, berdiri kokoh Lembaga “Al-Mustaqīm”, sebuah lembaga dakwah dan pendidikan tradisional berusia 55 tahun. Lembaga ini memiliki TK/SD/SMP Islam unggulan dan Majelis Taklim besar. Al-Mustaqīm dipimpin oleh Bapak Fathul, seorang Leader yang shalih. Visi beliau, "Menjaga Tradisi Ilmu dan Amal," sangat mulia. Namun, Leadership beliau berhadapan dengan manajerial yang kaku.

Manager (Kepala Bagian Dakwah) Bapak Karim, fokus utamanya adalah menjaga jadwal Majelis Taklim tidak berubah (konsistensi jadwal) dan menjaga SOP donasi cash (keteraturan proses). Doing Things Right dalam konteks 1980-an.

Tiba-tiba, muncul di seberang jalan Komunitas Islam Muda yang dipimpin oleh Ustadz Taufiq, seorang Leader muda yang visioner. Komunitas ini tak punya gedung, hanya co-working space, tetapi visinya adalah "Mengintegrasikan Ilmu Syar'i dan Teknologi untuk Dakwah Global."

Apa yang terjadi?

Dalam tiga tahun, Komunitas Islam Muda  (yang manajerial-nya sangat adaptif) berhasil menjangkau 50.000 anak muda melalui platform digital, meluncurkan program beasiswa online, dan donasinya masuk melalui QR code yang transparan. Sementara itu, Majelis Taklim Al-Mustaqīm yang prosesnya  mengalami penuaan jamaah. Mereka Doing Things Right (jadwal taklim tidak pernah meleset), tetapi mereka Doing the Wrong Things (menggunakan platform yang tidak lagi relevan).

Ini adalah kekalahan Leader yang lalai dari Manager yang Visioner. Kiai Fathul, seorang Leader yang agung, berisiko mengalami kekalahan misi bukan karena kekurangan Ikhlāṣ, tetapi karena kegagalan untuk memimpin perubahan manajerial yang dibutuhkan.


Leadership Mengubah Paradigma Manager

Persimpangan ini menuntut Kiai Fathul untuk menanggalkan topi Leader tradisionalnya dan menjadi Leader Transformatif yang berani mengusik kenyamanan manajerial Bapak Karim.


Mengaktifkan Self-Awareness Melalui Krisis

Kiai Fathul yang otentik, di tengah penurunan drastis donasi tunai, tidak menyalahkan persaingan, melainkan memulai audit spiritual dan manajerial pada dirinya sendiri.

Beliau memanggil Bapak Karim dan bertanya, bukan tentang keterlambatan jadwal, melainkan tentang relevansi: "Bapak Karim, kita berhasil Doing Things Right (laporan donasi cash sempurna). Tapi apakah kita Doing the Right Things? Data menunjukkan donatur muda pergi karena proses kita rumit dan laporan kita tidak tersedia online. Self-Awareness saya mengatakan, kelalaian ini adalah khianat terhadap amanah digital."


Leadership Menuntut Ijtihād Manajerial

Kiai Fathul kemudian menggunakan kekuatannya sebagai Leader untuk menuntut mujahadah (usaha maksimal) dari Manager

"Bapak Karim, Istiqomah tidak hanya konsisten dengan SOP lama. Istiqomah adalah konsisten dalam mencapai Ridha Allah. Sekarang, ridha Allah menuntut kita untuk berdakwah menggunakan platform yang efektif. Tugas Anda bukan lagi menjaga SOP lama, tetapi menciptakan SOP Transparansi Baru yang membuat pelaporan dana donatur bisa diakses real-time."

Kiai Fathul memaksa Bapak Karim, yang hanya terikat pada output (keteraturan), untuk memikirkan impact (dampak) spiritual. Ia menggerakkan Manager untuk melakukan perubahan bidang yang paling dibenci oleh Manager yang fokus pada stabilitas.


Sinergi: Tawadu’ dan Visi Bersama

Kemenangan Leader terjadi ketika Manager menerima tantangan perubahan dengan tawāḍu’ (kerendahan hati) dan integritas. Bapak Karim akhirnya 'menangis' dan berkata: "Terima kasih atas teguran ini. Saya terlalu nyaman di zona Al-Intiẓām saya, sampai lupa bahwa amanah ilmu harus disampaikan dengan alat yang paling efektif."

Kiai Fathul (Leader) memberikan Visi Digital (The Right Things), dan Bapak Karim (Manager yang bertobat) menggunakan skill Manajerial-nya untuk merancang SOP Digital Fundraising dan Pelaporan Transparan yang baru. Manager yang powerful kini melayani visi yang benar.

Ini membuktikan bahwa Leadership yang mengemban visi ukhrawi akan selalu lebih powerful daripada Manajerial yang hanya terikat pada tugas fungsional. Karena visi mampu meruntuhkan proses demi menyelamatkan misi. (Yulianto: 2023/210).


Referensi

  • Al-Qur’an Al-Karim, Surah Al-An'am.
  • Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. (Tahun Terbit). Shahih Al-Bukhari. (Penjelasan Kitab Hadis).
  • Hasan, Ali. 2018. Implikasi Tauhid dalam Kepemimpinan Pendidikan Islam. Tesis Magister: Universitas Islam Jakarta.
  • Fikri, Abdullah. 2022. Konsep Amanah dan Integritas dalam Pengelolaan Lembaga Nirlaba Islam. Jurnal Manajemen Dakwah, Vol 5. No. 2.
  • Yulianto, Aris. 2023. Kepemimpinan Transformatif dan Akuntabilitas di Lembaga Nirlaba Islam. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol 15. No. 3. Yogyakarta: UMY Press.

Penulis:

Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)

Download PDF