Mengapa Iman kepada Rasul Begitu Penting?
Keimanan kepada Rasul-rasul Allah ‘Alaihimush Shalatu was Salam adalah pilar esensial dalam bangunan akidah Islam. Posisi rukun iman keempat ini menunjukkan bahwa tanpa mengimani para utusan Allah, keimanan seseorang menjadi cacat dan tidak sah di sisi Allah.
Pentingnya mengimani para rasul terletak pada fungsi utama mereka: sebagai perantara tunggal antara Allah dan umat manusia dalam menyampaikan risalah, ajaran, dan petunjuk yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.
Kita tidak mungkin mengenal Allah, memahami perintah dan larangan-Nya, atau mengetahui tujuan penciptaan tanpa melalui perantara yang jujur dan suci ini. Merekalah yang menegakkan hujjah (bukti) di hadapan manusia, sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun di hari Kiamat untuk berdalih tidak mengetahui jalan yang benar.
Oleh karena itu, mari kita pahami hakikat keimanan kepada para Rasul ini, yang merupakan kunci utama menuju surga dan perlindungan dari kesesatan abadi.
Definisi dan Makna Iman kepada Rasul
Al-Hafizh Al-Hakami menyatakan: “Beriman kepada rasul-rasul Allah itu maknanya meyakini dengan sepenuh hati, bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus kepada umat manusia para utusan yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata, dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah.
Dan meyakini bahwa para rasul adalah orang-orang yang jujur, mulia, bertakwa, dan semuanya membimbing kepada agama yang benar menuju Rabbul ‘Alamin, dengan menyampaikan semua wahyu yang telah Allah turunkan (kepada mereka). Beriman kepada mereka berarti juga meyakini semua kabar tentang mereka yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sah tanpa menolaknya.” (Ma’arijul Qabul: 831)
Kufur terhadap Para Rasul adalah Kesesatan
Keimanan kepada rasul merupakan salah satu rukun keimanan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Jibril:
“Beritahukan kepadaku tentang Keimanan." Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhirat, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim no. 8).
Berdasarkan hadits ini, tidak sah keimanan seorang hamba bila ia tidak mengimani para Rasul. Ancaman bagi yang mengingkari sangat berat. Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan:
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 136).
Imam As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa semua poin ini adalah keimanan yang wajib dan seseorang tidak akan disebut beriman kecuali dengan mengimaninya. (Tafsir As-Sa’diy: 172).
Membedakan Nabi dan Rasul
Walaupun tugas mereka sama-sama menerima wahyu, ulama menjelaskan perbedaan antara Nabi dan Rasul:
- Rasul: Seorang laki-laki yang diberi wahyu berupa syariat baru dari Allah dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya.
- Nabi: Seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah, tetapi tidak diperintahkan untuk membawa syariat baru, melainkan mengamalkan syariat rasul sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul, hal ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyyah: 1/155.
Jumlah yang Sangat Banyak
Para nabi dan rasul berjumlah sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengabarkan tatkala beliau ditanya:
“Wahai Rasulullah, berapa jumlah para nabi?” Beliau bersabda, “(Jumlahnya) 124.000 nabi, dari semua itu para rasul berjumlah 315 orang, sebuah jumlah yang banyak.” (HR. Ahmad: 22288).
Namun, Allah Ta’ala hanya menceritakan sebagian kecil dari mereka kepada kita, sementara yang lain tidak diceritakan. Kewajiban kita adalah mengimani semua yang dikisahkan, dan mengimani keberadaan semua utusan secara global:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78).
Rasul Pertama dan Terakhir
Rasul yang pertama diutus oleh Allah kepada penduduk bumi adalah Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya,” (QS. An-Nisa’: 163).
Juga dalam hadits syafa’at, Nabi Adam berkata kepada manusia:
"Datanglah kalian kepada Nuh, (dia) adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 3340 dan Muslim no. 194).
Adapun penutup dan yang terakhir dari seluruh nabi dan rasul adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada lagi nabi setelah beliau wafat:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40).
Empat Pilar Keimanan kepada Rasul
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah merangkum empat perkara pokok yang wajib diimani:
- Meyakini Kebenaran Kerasulan: Mengimani bahwa kerasulan mereka betul-betul berasal dari Allah Ta'ala.
- Mengimani Nama-nama: Mengimani nama para rasul yang dikabarkan kepada kita, adapun nama yang tidak dikabarkan kita imani secara global.
- Membenarkan Kabar: Membenarkan semua kabar dari para rasul yang terbukti kebenarannya (shahih).
- Mengamalkan Syariat: Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita (yaitu Nabi Muhammad ﷺ).
(Syarh Ushulil Iman: 36-38).
Kesamaan Inti Ajaran dan Perbedaan Syariat
Para rasul memiliki keutamaan dan syariatnya yang berbeda-beda, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah ajak bicara (secara langsung), dan Allah meninggikan sebagian mereka beberapa derajat." (QS. Al-Baqarah: 253).
Namun pokok agama mereka adalah satu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Para nabi itu saudara sebapak, ibu mereka berbeda-beda, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Al-Bukhari no. 3340 dan Muslim no. 194).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Makna hadits, bahwasanya pokok agama mereka adalah satu, yaitu tauhid. Meskipun cabang-cabang syariatnya berbeda-beda” (Fathul Bari: 6/489).
Wajib Mentaati dan Tidak Membeda-bedakan
Ciri orang beriman adalah membenarkan seluruh rasul dan tidak membeda-bedakan di antara mereka:
“Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri" (QS. Ali Imran: 84).
Imam Ath-Thabari rahimahullah menegaskan, “Kita tidak membenarkan sebagian mereka dan mendustakan sebagian yang lain, dan tidak pula mengimani sebagian mereka dan kufur kepada sebagian yang lain, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani yang kufur kepada sebagian dari nabi-nabi Allah dan membenarkan sebagian yang lain, akan tetapi kita mengimani mereka semuanya” (Jami’ al-Bayan: 2/285).
Allah Ta’ala mengirim para utusan bukan tanpa alasan, tetapi untuk ditaati:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa: 64).
Mengikuti Syariat Rasul Terakhir
Setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai penutup para nabi, syariat beliau secara otomatis membatalkan syariat yang datang sebelumnya. Keimanan dan ketaatan hanya sah melalui ajaran yang beliau bawa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, tak seorang pun dari umat ini, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani, yang pernah mendengar tentangku lantas dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada risalah yang aku bawa, melainkan dia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 218).
Penutup
Iman kepada Rasul-rasul Allah adalah pondasi tauhid dan prasyarat mutlak diterimanya ibadah kita. Para rasul telah menunaikan tugas mereka menyebarkan Tauhid dan Syariat. Sebagai umat Nabi Muhammad, kita wajib meyakini kebenaran seluruh rasul, tetapi hanya mengamalkan syariat yang dibawa oleh beliau.
Setelah memahami bahwa para rasul adalah satu-satunya jalan hidayah yang ditawarkan Allah, seharusnya kita merasa malu jika masih berpaling dari ajaran mereka. Keselamatan dan kebahagiaan abadi hanya terletak pada ketaatan mutlak kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menjauhi segala bentuk penyimpangan dan kesesatan yang bertentangan dengan sunnah beliau.
Marilah kita memperbaharui dan memperkuat keimanan kita kepada Rasulullah, membenarkan semua kabar yang beliau sampaikan, dan secara konsisten mengamalkan seluruh syariat yang beliau ajarkan. Jangan pernah merasa cukup dalam belajar dan mengamalkan sunnah beliau, karena itulah bekal terbaik kita menuju kehidupan abadi di surga. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi kita hidayah taufiq sehingga kita dimampukan untuk mentaati rasul-Nya dan berkumpul bersama mereka di Jannah. Aamiin.
Referensi
- Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari.
- Muslim, Muslim ibn al-Hajjaj. Shahih Muslim.
- Ahmad ibn Hanbal. Musnad Ahmad.
- Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an.
- Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad ibn Ali. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari.
- Al-Hakami, Hafizh Ahmad. Ma’arijul Qabul.
- As-Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir As-Sa’diy.
- Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Ushulil Iman. (Cet. 1). Darul Wathan.
Penulis
Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)