Pendahuluan: Epidemi "Quiet Quitting" dan Realitas "Job Creep"
Di era disrupsi digital, lanskap dunia kerja berubah drastis. Namun, bersamaan dengan fleksibilitas, muncul pula fenomena "gelap" yang kian meresahkan. Kita menyaksikan epidemi quiet quitting—sebuah istilah modern untuk karyawan yang memilih bekerja sebatas deskripsi pekerjaan mereka, tidak lebih, sebagai bentuk protes diam-diam terhadap ekspektasi yang tidak realistis.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Sebuah laporan dari Gallup ("State of the Global Workplace 2023") menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan (engagement) karyawan secara global masih rendah, dan stres di kalangan pekerja tetap berada di level yang sangat tinggi. Salah satu pemicu utamanya adalah fenomena yang disebut job creep.
Job creep adalah perluasan tugas dan tanggung jawab seorang karyawan yang terjadi secara perlahan dan progresif di luar lingkup kontrak kerja awalnya, dan yang paling krusial, tanpa diiringi kompensasi yang setimpal.
Ironisnya, praktik ini seringkali dibungkus dengan narasi moral yang manipulatif. Karyawan dituntut untuk "loyal," "mengabdi," atau "berkontribusi lebih" demi kemajuan bersama. Dalih ini sangat sering kita temui di organisasi nirlaba, rintisan (startup), atau bahkan lembaga pendidikan dan dakwah seperti pondok pesantren.
Seorang desainer grafis direkrut untuk mengelola visual. Namun, seiring waktu, ia diminta "sekalian belajar" menjadi digital marketer, mengelola SEO, dan menjalankan iklan—dua bidang keahlian yang jelas-jelas berbeda—dengan upah yang sama. Saat akhir pekan atau waktu libur, notifikasi WhatsApp dari atasan terus berdatangan, menuntut respons cepat seolah-olah "jam kerja" tidak pernah ada.
Artikel ini tidak sedang membahas tentang kemalasan. Artikel ini adalah gugatan terhadap zhulm (kezaliman) yang terstruktur; sebuah analisis tentang mengapa membebankan pekerjaan di luar kontrak tanpa bayaran tambahan adalah praktik yang tidak etis, tidak profesional, dan dalam tinjauan fiqh Islam, dapat dikategorikan sebagai tindakan haram karena melanggar akad dan memakan hak orang lain secara batil.
Akad Ijarah: Kontrak Adalah Kehormatan
Dalam fiqh muamalah (hukum transaksi Islam), hubungan antara pemberi kerja (atasan) dan pekerja (karyawan) diatur dalam sebuah konsep yang disebut Ijarah. Secara sederhana, Ijarah adalah akad sewa-menyewa, yang dalam konteks ini adalah "menyewa jasa" atau "menyewa tenaga" seorang profesional untuk melakukan suatu pekerjaan (manfa'ah) dengan imbalan upah (ujrah) yang telah disepakati.
Agar akad Ijarah ini sah, salah satu syarat utamanya adalah manfa'ah (jasa/pekerjaan) dan ujrah (upah) harus ma'lum—jelas, terukur, dan diketahui oleh kedua belah pihak sejak awal. Inilah yang kita kenal di dunia modern sebagai "kontrak kerja" atau "job description" (jobdesk).
Allah Subhanahu wa Ta'ala sangat menekankan pentingnya memenuhi kontrak. Ini bukan sekadar perjanjian administratif, melainkan sumpah atas nama iman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (akad-akad)." (QS. Al-Ma'idah: 1)
Kontrak kerja adalah kehormatan. Ketika seorang desainer grafis menandatangani kontrak, ia setuju untuk menyerahkan manfa'ah (jasa desain) selama waktu yang disepakati (misalnya, 8 jam sehari), dan perusahaan setuju memberikan ujrah (gaji) atas jasa tersebut. Jobdesk adalah batasannya.
"Job Creep": Ketika Perusahaan Melakukan Ghasb
Apa yang terjadi ketika atasan meminta si desainer grafis untuk juga melakukan pekerjaan digital marketing?
Secara fiqh, atasan tersebut sedang meminta manfa'ah (jasa) tambahan yang berada di luar akad awal. Digital marketing adalah keahlian yang berbeda, memiliki nilai pasar yang berbeda, dan membutuhkan alokasi waktu serta energi yang berbeda.
Jika atasan meminta jasa tambahan ini tanpa menawarkan ujrah (gaji/fee) tambahan, maka ia telah jatuh ke dalam praktik akl al-mal bi al-bathil (memakan harta orang lain dengan cara yang batil). Keringat, keahlian, dan waktu karyawan adalah "harta" miliknya yang dilindungi.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil." (QS. Al-Baqarah: 188)
Memaksa karyawan melakukan pekerjaan ganda dengan bayaran tunggal adalah bentuk kezaliman (zhulm) yang nyata. Ini adalah ghasb (perampasan) hak intelektual dan hak waktu milik karyawan.
Parahnya lagi, praktik ini sering dinormalisasi. Karyawan yang menolak akan dicap "tidak loyal," "tidak mau berkembang," atau "tidak amanah." Padahal, yang sesungguhnya tidak amanah adalah pihak yang melanggar kesepakatan kontrak awal. Loyalitas adalah kesetiaan pada akad, dan akad-nya adalah desainer grafis, bukan digital marketer.
Ancaman Serius: Allah adalah Musuh Bagi Pelanggar Upah
Islam tidak main-main dalam urusan upah. Upah adalah hak mutlak seorang pekerja yang telah menunaikan kewajibannya. Menambah beban kerja tanpa menambah upah adalah bentuk canggih dari "tidak memberikan upah" atas pekerjaan tambahan tersebut.
Ancamannya tidak datang dari serikat buruh, melainkan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
"Ada tiga golongan (manusia) yang Aku (Allah) akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat: (1) Seseorang yang memberi (berjanji) dengan nama-Ku lalu ia berkhianat; (2) Seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya); dan (3) Seseorang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun ia tidak memberikan upahnya." (HR. al Bukhari no. 2227)
Hadits ini adalah tamparan keras. Jika seorang atasan mempekerjakan karyawan untuk 8 tugas (sesuai jobdesk), lalu ia memaksanya melakukan 12 tugas, namun hanya membayar untuk 8 tugas, maka ia telah "menyelesaikan pekerjaan" (4 tugas tambahan) dan atasan "tidak memberikan upahnya."
Pada hari kiamat, musuh dari atasan tersebut bukanlah karyawan yang terzalimi, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebuah risiko yang teramat besar hanya demi efisiensi anggaran yang semu.
Bahkan, kecepatan pembayaran upah sangat ditekankan oleh Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering." (HR. Ibnu Majah no. 2443)
Hadits ini bukan hanya berbicara tentang kecepatan transfer gaji bulanan. Ia berbicara tentang filosofi menghargai jerih payah. Jika jobdesk tambahan itu "keringat" baru, maka ia membutuhkan "upah" baru. Sesederhana itu.
"Work-Life Balance" vs. "Ghasb Al-Waqt" (Merampas Waktu)
Kezaliman kedua, yang tidak kalah serius, adalah mengganggu waktu libur karyawan. Akad Ijarah tidak hanya menentukan jenis pekerjaan (manfa'ah), tetapi juga durasi pekerjaan (muddat al-'amal).
Jika kontrak kerja adalah 40 jam seminggu (Senin-Jumat, 08.00-17.00), maka di luar rentang waktu itu, "jasa" si karyawan tidak lagi disewa oleh perusahaan. Waktu di akhir pekan, tanggal merah, atau malam hari adalah milik mutlak si karyawan. Ia berhak menggunakannya untuk istirahat, untuk ibadah, untuk keluarganya, atau untuk dirinya sendiri.
Ketika seorang atasan mengirim pesan WhatsApp di hari Ahad pukul 21.00 malam yang berisi "Tolong segera revisi," ia tidak sedang menunjukkan "dedikasi," ia sedang melakukan ghasb al-waqt (merampas waktu). Ia menggunakan jasa karyawan di luar jam yang telah disepakati dalam akad tanpa kompensasi.
Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip La dharara wa la dhirar (Tidak boleh berbuat mudarat dan tidak boleh menimbulkan mudarat untuk orang lain). Memaksa karyawan untuk standby 24/7—bahkan secara psikologis—akan menimbulkan dharar (mudarat) berupa kelelahan mental, burnout, dan rusaknya hubungan sosial-keluarga si karyawan. Ini adalah praktik yang dilarang.
Karyawan berhak penuh untuk tidak merespons pekerjaan di luar jam kerja yang disepakati. Memaksa mereka atau memberikan sanksi sosial (misalnya, dianggap "tidak suportif") atas hal ini adalah bentuk intimidasi yang bertentangan dengan keadilan ('adl) yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Kesimpulan: Berkah Dibangun di Atas Keadilan, Bukan Eksploitasi
Dunia kerja modern yang menuntut kecepatan seringkali membuat kita lupa batas-batas kemanusiaan dan keadilan. Namun, dalam Islam, efisiensi tidak pernah boleh mengorbankan akad. Profesionalisme tidak pernah boleh menjadi dalih untuk melakukan zhulm.
Menugaskan karyawan di luar jobdesk-nya tanpa kompensasi tambahan bukanlah "pembinaan loyalitas," melainkan "eksploitasi yang dilegalkan." Menggunakan dalih "pengabdian" atau "perjuangan," apalagi di lembaga yang mengusung nama agama, untuk memeras keringat gratis adalah sebuah ironi yang menyakitkan.
Kepada para atasan, manajer, dan pemilik perusahaan: Karyawan Anda adalah ajir (pekerja yang disewa jasanya), bukan 'abd (hamba) yang Anda miliki raga dan waktunya. Kontrak kerja adalah amanah yang akan ditimbang di yaumul hisab.
Jika Anda membutuhkan keahlian baru (seperti digital marketing dari seorang desainer grafis), tawarkan akad baru. Tawarkan pelatihan yang layak, dan yang terpenting, tawarkan ujrah (upah/fee) tambahan yang adil. Hormati waktu istirahat mereka, karena tubuh dan pikiran mereka punya hak yang wajib Anda tunaikan.
Pada akhirnya, keberkahan sebuah bisnis atau lembaga tidak diukur dari seberapa efisien Anda menekan biaya operasional dengan cara menzalimi hak pekerja. Keberkahan lahir dari keadilan, dari setiap akad yang tertunaikan, dan dari setiap rupiah upah yang dibayarkan atas keringat yang telah tumpah.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan pertolongan dan keberkahan dari Allah, jika di saat yang sama kita sedang bersiap untuk menjadi musuh-Nya di hari kiamat?
Referensi:
- Al-Qur'an al-Karim.
- Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. Kitab al-Ijarah.
- Ibnu Majah, Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibnu Majah. Kitab ar-Ruhun.
- Gallup, Inc. (2023). State of the Global Workplace: 2023 Report. Washington, D.C.
- Az-Zuhaili, Wahbah. (2008). Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Jilid 4. Damaskus: Dar al-Fikr. (Pembahasan tentang Al-Ijarah).
- Harvard Business Review. (2022). "Stop 'Job Creep' From Driving Away Your Talent."
- Perhimpunan HRD Indonesia. (2023). Tren Work-Life Balance dan Dampaknya terhadap Produktivitas. Jurnal SDM Profesional.
Penulis:
Fachri Muhammad Thoyyib, B.A., M.Pd.
(Alumni LIPIA Jakarta. Sekertaris Yayasan Al Madinah Surakarta)