Para pembaca yang dimuliakan Allah…
Ada sebuah kisah nyata yang sangat indah, sarat makna, dan penuh pelajaran iman. Kisah ini diabadikan oleh Imam Abu Nu‘aim al-Asfahani dalam karya monumentalnya Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, jilid 4 halaman 7–8. Sebuah kisah inspiratif yang diriwayatkan dari seorang tabi‘in besar, Thawus bin Kisan.
📜 Kisah Bakti yang Mengundang Keajaiban
Diriwayatkan dari Thawus bin Kisan, bahwasanya:
"Ada seorang laki-laki memiliki 4 anak, yang beliau ini sakit." Maka salah seorang dari anak-anaknya berkata: "Silakan pilih, kalian merawat ayah namun kalian tidak mendapatkan sedikit pun dari warisan beliau, ataukah aku yang merawat ayah dan aku tidak mendapatkan sedikit pun warisan beliau."
Saudara-saudaranya yang tiga orang itu pun sepakat dan berkata: "Rawatlah, dan engkau tidak mendapatkan sedikit pun dari warisannya."
Maka anak tersebut merawat ayahnya dengan penuh kesungguhan hingga sang ayah wafat, dan ia benar-benar tidak mengambil sedikit pun dari warisan.
Beberapa waktu kemudian, anak yang berbakti ini bermimpi. Dalam mimpinya, ia didatangi beberapa orang yang berkata kepadanya: "Datangilah tempat demikian dan demikian, lalu ambillah darinya 100 dinar!"
Ia bertanya dengan penuh kehati-hatian: "Apakah ada keberkahan padanya?"
Mereka menjawab: "Tidak."
Keesokan paginya, ia menceritakan mimpi itu kepada istrinya. Sang istri berkata: "Ambillah, karena di antara keberkahannya ialah kita bisa menyedekahkan sebagian darinya."
Namun ia enggan mengambilnya.
Pada malam berikutnya, ia bermimpi lagi dan ditawari 10 dinar, dan kembali ia bertanya: "Apakah ada keberkahan di dalamnya?"
Jawabannya tetap: "Tidak."
Ia pun kembali menolaknya.
Pada malam ketiga, ia kembali bermimpi dan ditawari 1 dinar. Ketika ia bertanya: "Apakah ada keberkahan di dalamnya?"
Mereka menjawab: "Ya, ada."
Akhirnya ia pun pergi ke tempat tersebut dan mengambil 1 dinar. Dengan uang itu ia pergi ke pasar dan melihat seorang penjual membawa dua ekor ikan.
"Dua ekor ikan itu dijual berapa?" "Satu dinar."
Ia membelinya, lalu membawa pulang ikan tersebut. Sesampainya di rumah, ia membelah perut kedua ikan itu. Betapa terkejutnya ia, karena di dalam perut masing-masing ikan terdapat sebutir mutiara yang sangat indah, mutiara yang belum pernah disaksikan manusia sebelumnya.
Tak lama kemudian, raja mengutus orang-orang untuk mencari mutiara terindah. Tidak ditemukan mutiara seperti itu kecuali milik orang yang berbakti kepada ayahnya tersebut. Ia pun menjual satu mutiara dengan emas seberat beban 30 ekor baghal.
Ketika raja melihatnya, ia berkata: "Mutiara ini tidak pantas kecuali dengan kembarannya."
Utusan raja kembali dan bertanya: "Apakah kamu memiliki kembarannya?"
Ia menjawab dengan syarat kepastian, dan akhirnya mutiara kembar itu pun dijual dengan harga yang jauh lebih besar.
(Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’: 4/ 7–8)
Siapakah Thawus bin Kisan?
Saudaraku seiman, barakallahu fikum…
Thawus bin Kisan adalah salah satu imam besar dari kalangan tabi‘in, dikenal sebagai ulama yang sangat fakih, ahli ibadah, zuhud, dan berakhlak luhur. Beliau meriwayatkan hadis dari para sahabat utama seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, Jabir bin ‘Abdillah, Ibnu ‘Umar, dan ‘Abdullah bin ‘Amr.
Murid-murid beliau pun merupakan ulama besar, di antaranya ‘Atha’, Mujahid, ‘Abdullah bin Thawus, dan Ibnu Syihab az-Zuhri.
💡 Hikmah dan Pelajaran
Para pembaca yang dimuliakan Allah…
1. Keberkahan Mengalahkan Perhitungan Manusia
Sering kali manusia terjebak dalam logika dunia yang serba hitung-hitungan. Kita menilai untung dan rugi hanya dengan angka dan materi. Padahal, ada satu jenis “investasi” yang nilainya langsung ditentukan oleh Allah Yang Maha Kaya, yaitu birrul walidain (berbakti kepada orang tua).
Kisah ini adalah bukti nyata bahwa keberkahan mampu mengalahkan seluruh kalkulasi manusia. Apa yang tampak rugi secara dunia, justru menjadi keuntungan besar di sisi Allah.
2. Jangan Takut Rugi Saat Taat kepada Allah
Perhatikan cara berpikir tiga saudara dalam kisah ini. Mereka memilih “harta yang pasti” berupa warisan, dan enggan bersusah payah merawat ayah mereka. Berbeda dengan sang anak shalih, ia tidak sedang bernegosiasi dengan manusia, melainkan bertransaksi langsung dengan Allah.
Hasilnya? Allah tidak sekadar mengganti apa yang ia lepaskan, namun memberinya balasan yang berlipat ganda dan datang dari arah yang tidak pernah ia bayangkan.
3. Cari Berkahnya, Bukan Sekadar Banyaknya
Ketika ditawari 100 dinar dan 10 dinar, ia tidak tergiur. Pertanyaan pertamanya sangat dalam: "Apakah ada keberkahan padanya?"
Inilah kecerdasan spiritual sejati. Satu dinar yang berkah lebih bernilai daripada harta melimpah yang kosong dari keberkahan. Rezeki yang sedikit namun berkah, mampu melahirkan keajaiban.
4. Bakti kepada Orang Tua Mengundang Imbalan Dunia dan Akhirat
Dalam kisah ini, Allah langsung menampakkan balasan dunia bagi orang yang berbakti, berupa emas seberat 30 baghal. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 2067 dan Muslim no. 2557).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan:
“Bakti kepada orang tua adalah bentuk silaturahmi yang paling mulia.” (Adh-Dhiya’ al-Lami’: 503).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan:
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ
“Rida Allah tergantung pada rida orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1899).
5. Banyak yang Ingin Nikmat Tanpa Pengorbanan
Ketiga saudara itu berkata: "Rawatlah, dan engkau tidak mendapatkan warisan sedikit pun."
Inilah potret kebanyakan manusia: ingin kenyamanan tanpa kesulitan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu.” (HR. Muslim no. 2664).
6. Mimpi Mukmin: Anugerah dari Allah
Dalam kisah ini, mimpi menjadi pintu turunnya anugerah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
“Mimpi seorang mukmin adalah satu dari 46 bagian kenabian.” (HR. Al-Bukhari, no. 7017 dan Muslim, no. 2263).
Jika mimpi itu baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan: "Hendaklah ia memuji Allah dan menceritakannya." (HR. Al-Bukhari no. 7045).
Dan jika mimpi buruk: "Berlindunglah kepada Allah dan jangan menceritakannya." (HR. Al-Bukhari no. 7044; Muslim no. 2261).
Para ulama menjelaskan bahwa mimpi yang benar adalah karunia, namun bukan wahyu bagi selain nabi, dan tidak boleh dijadikan dasar hukum yang bertentangan dengan syariat.
Penutup
Saudaraku…
Kisah ini bukan sekadar cerita, tetapi pelajaran iman tentang kejujuran niat, keberanian berkorban, dan keyakinan penuh kepada janji Allah. Bakti kepada orang tua tidak pernah sia-sia. Jika bukan dibalas di dunia, maka balasannya pasti disempurnakan di akhirat.
📚 Referensi
- Abu Nu‘aim al-Asfahani. (1996). Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’. Kairo: Darul Fikri.
- Al-Bukhārī, M. ibn I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut, Lebanon: Dār Ibn Kathīr.
- Muslim, ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī. (2006). Ṣaḥīḥ Muslim. Riyadh, Arab Saudi: Dār Ṭaybah.
- At-Tirmidhī, M. ibn ‘Īsā. (1998). Sunan at-Tirmidhī. Beirut, Lebanon: Dār al-Gharb al-Islāmī.
- Al-‘Uthaymīn, M. ibn Ṣāliḥ. Adh-Ḍiyā’ al-lāmi‘ min al-khuṭab al-jāmi‘. Riyadh: Maktabah ash-Shāmilah.
✍️ Penulis:
Jundi Sukarna, M.Pd., M.M.
(Bidang Pendidikan Yayasan Al Madinah Surakarta)