📝 Pendahuluan
KPR atau Kredit Pemilikan Rumah adalah sebuah transaksi kredit atau pinjaman yang dilakukan oleh individu untuk membeli atau membangun suatu rumah, yang pelunasannya dilakukan dengan cara mengangsur dalam jangka waktu tertentu.
Apa hukumnya dan bagaimana penjelasannya? Mari kita pelajari bersama!
📑 Macam-Macam KPR
Untuk mengetahui lebih jelas hukum KPR, maka kita perlu mengetahui macam-macam bentuk KPR. KPR ada dua macam:
- KPR yang melibatkan dua belah pihak.
- KPR yang melibatkan tiga belah pihak.
1. KPR yang Melibatkan Dua Belah Pihak 🤝
Yaitu pihak pertama pembeli, sedangkan pihak kedua adalah developer atau pengembang perumahan.
Contoh: Pihak pertama, A misalnya ingin membeli rumah seharga Rp200 juta. Karena tidak mampu membeli secara tunai, maka A mendatangi B sebagai developer atau pihak kedua. Kemudian A mengajukan KPR kepada B dengan ketentuan A membayar uang muka Rp50 juta, kemudian sisanya Rp150 juta akan diangsur selama 5 tahun dengan biaya angsuran per bulan Rp2,5 juta. Dengan catatan pula jika terjadi keterlambatan angsuran, maka tidak boleh ada penalty atau tambahan angsuran.
Hukum: KPR seperti ini hukumnya boleh, karena tidak mengandung unsur riba dan kezaliman. Hal tersebut berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktik utang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk utang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Begitu pula hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
اِشْتَرَى رَسُوْلُ اللّٰهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَاماً نَسِيْئَةً وَرَهَنَهُ دِرْعَه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran diutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2386 dan Muslim, no. 1603).
Jadi kesimpulannya untuk KPR jenis pertama tadi hukumnya mubah.
2. KPR yang Melibatkan Tiga Belah Pihak 🏦
Pihak pertama pembeli, pihak kedua developer, sedangkan pihak ketiga adalah perusahaan pembiayaan atau bank. Untuk KPR yang melibatkan pihak ketiga, perlu kita bagi menjadi dua macam pula:
a. KPR dari Bank Konvensional ⛔
Kenyataan yang terjadi dalam kredit KPR dari bank konvensional adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dengan tujuan agar dikembalikan lebih banyak.
Contoh: Pak Ahmad ingin memiliki rumah. Karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli secara tunai, maka Pak Ahmad datang ke bank dan menyampaikan maksudnya kepada bank. Setelah itu terjadilah transaksi KPR di bank dengan harga rumah sebesar Rp200 juta. Pak Ahmad membayar uang muka (down payment) sebesar Rp50 juta, kemudian sisa harga yaitu Rp150 juta akan dibiayai oleh bank sebagai pinjaman. Kemudian Pak Ahmad akan mengangsur uang pinjaman tersebut kepada bank selama 10 tahun, dengan besar angsuran Rp1,5 juta per bulan. Jadi total angsuran yang harus disetorkan Rp180 juta.
Analisis Hukum: Jadi realitanya, dalam transaksi di atas adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan. Semua tambahan dalam pinjaman yang sudah ditentukan di awal pinjaman adalah riba. Maka kesimpulan dari KPR dari bank konvensional adalah haram hukumnya karena terkandung unsur riba.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436).
b. KPR dari Bank Syariah ✅
Perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa pada bank syariah ada beberapa jenis akad yang ditawarkan kepada nasabah untuk KPR ini, di antaranya:
- Akad bai’ al-murabahah.
- Akad istishna’.
- Akad ijarah muntahiyah bit-tamlik.
- Akad musyarakah.
Jadi saat mengajukan KPR pada bank syariah harus diperjelas akad apa yang digunakan, kemudian memahaminya dengan baik. Akan tetapi yang paling banyak digunakan oleh bank syariah saat ini adalah akad yang pertama yaitu akad bai’ al-murabahah, yaitu jual beli barang di mana harga asal dan tambahan keuntungan telah ada kesepakatan antara pihak bank dan nasabah.
Contoh: Pak Ahmad ingin memiliki rumah. Dia menyampaikan maksudnya ke bank syariah. Terjadilah akad bai’ al-murabahah, yaitu bank syariah membeli rumah seharga Rp150 juta kemudian dijual kepada Pak Ahmad seharga Rp200 juta secara kredit.
Bank syariah kemudian membeli rumah secara tunai dari developer seharga Rp150 juta atas nama bank. Bank lalu menjual rumah itu ke Pak Ahmad seharga Rp200 juta dengan cara Pak Ahmad membayar uang muka sebesar Rp50 juta dibayar di awal, kemudian sisanya Rp150 juta diangsur selama 5 tahun dengan biaya sewa Rp2,5 juta per bulan.
KPR seperti ini diperbolehkan dengan 4 syarat di bawah ini:
- Bank syariah benar-benar membeli rumah itu dan memilikinya sebelum dijual kembali kepada nasabah secara kredit.
- Jika terjadi kerusakan atau bencana, setelah pembelian bank dari developer, sebelum dijual kepada nasabah, maka yang menanggung kerugian adalah pihak bank syariah, sebagai pemilik barang.
- Jika terjadi perubahan pikiran dari nasabah, setelah pembelian rumah oleh bank dan sebelum penjualan kepada nasabah—misalnya nasabah tidak jadi membeli rumah tersebut—maka pihak bank tidak boleh memaksa, karena kesepakatan awal sifatnya tidak mengikat dan hendaknya bank menjual kepada orang lain.
- Tidak boleh ada penalti atau hukuman karena keterlambatan angsuran dengan tambahan uang.
🏁 Kesimpulan
KPR adalah sebuah transaksi yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia, di mana harga rumah yang sangat mahal, sehingga manusia tidak semua mampu mempunyainya secara kontan. Oleh sebab itu, pada asalnya akad tersebut diperbolehkan, kecuali jika ada riba di dalam transaksi tersebut yang terkandung unsur kezaliman, seperti perincian yang telah dipaparkan dalam penjelasan di atas.
📚 Referensi:
- Al-Qur’an Al-Karim.
- Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā‘īl. (2001). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kairo: Dār Ṭawq al-Najāh.
- Al-Ḥajjāj, Muslim. (2004). Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
- Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah. (2002). Al-Mughni. Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.
✍️ Penulis:
Abul Hasan Ali
(Pengajar Pondok Pesantren Al Madinah & Alumnus Daarul Hadits, Dammaj, Yaman)
Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!