📝 PENDAHULUAN
Pernikahan dalam Islam adalah kontrak sakral (mitsāqan ghalīzhā) yang dirancang untuk mencapai ketenangan jiwa (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah), sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam ayat-Nya:
وَمِنْ اٰيٰتِه اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Tujuan luhur ini hanya dapat dicapai melalui pemenuhan hak dan kewajiban secara resiprokal (timbal balik), di mana kewajiban suami mencakup penyediaan nafkah lahir (materi) dan nafkah batin. Nafkah batin, yang meliputi pemenuhan kebutuhan emosional dan seksual, berfungsi sebagai perekat ikatan yang vital.
Isu suami yang lalai atau secara persisten (terus-menerus) menolak memberikan nafkah batin semakin sering diangkat dalam konteks sosiokultural modern. Dalam sistem peradilan agama Indonesia, ketidakpuasan istri terhadap pemenuhan hak-haknya, termasuk nafkah batin, menjadi salah satu alasan dominan dalam pengajuan gugatan cerai oleh istri (Cerai Gugat) (Darwis, 2021). Pengabaian ini tidak hanya melanggar hak syariat, tetapi juga menimbulkan kerugian (darar) serius yang bersifat multidimensi.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif kewajiban suami dalam memberi nafkah batin. Analisis akan dimulai dengan metodologi istinbath hukum dan perbandingan pandangan ulama empat mazhab fikih. Selanjutnya, artikel ini akan memaparkan dampak serius penolakan tersebut dari sudut pandang psikologi klinis dan implikasi medis, memberikan kerangka pemahaman interdisipliner yang mendalam, kontekstual, dan mudah diakses.
📜 LANDASAN HUKUM DAN ISTINBATH FIKIH
A. Konsep dan Kewajiban Suami
Kewajiban suami untuk memberikan nafkah batin didasarkan pada prinsip mu'āsyarah bi al-ma'rūf (pergaulan yang baik) dan menjaga kehormatan ('iffah) istri. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعرُوف
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Ketika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjang, kemudian ia menolak untuk datang, maka para malaikat melaknatnya hingga waktu Subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436)
Hadis ini, meskipun menekankan kewajiban istri, secara implisit menggarisbawahi pentingnya hubungan seksual yang harmonis. Secara timbal balik, ulama menetapkan bahwa hak istri untuk mendapatkan pemenuhan nafkah batin adalah wajib.
B. Metodologi Istinbath Hukum dan Perbandingan Mazhab
Ulama fikih mencapai kesimpulan wajibnya nafkah batin, namun berbeda dalam menentukan batas frekuensi. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menggunakan dalil dan kaidah fikih dalam proses istinbath hukum:
- Mazhab Hanafi (Analogi Īlā'): Ulama Hanafi, seperti Al-Kasani dalam Al-Bada’i As-Shana’i’, menetapkan kewajiban dengan batasan frekuensi merujuk pada hukum īlā’ (sumpah suami untuk tidak menggauli istri). Batas maksimum penundaan adalah empat bulan. Penggunaan īlā' sebagai analogi menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan intim selama periode tersebut dianggap sudah mencapai batas darar syar'i. Al-Kasani menegaskan:
وَلَوْ آلى مِنْهَا وَلَمْ يَفِئ إِلَيْهَا حَتَّى مَضَتْ أَرْبَعَة أَشْهُر فَبَانَتْ مِنْهُ بِتَطْلِيْقَة
“Dan jika ia bersumpah tidak menggaulinya dan tidak kembali padanya hingga lewat empat bulan, maka ia (istri) harus diceraikan (jatuh talak).” (Al-Bada’i As-Shana’i’: 3/178)
- Mazhab Maliki (Kaidah Darar): Mazhab Maliki sangat fokus pada pencegahan kaidah darar (kerugian/bahaya). Mereka berpendapat bahwa suami wajib memenuhi kebutuhan istrinya sesuai 'urf (kebiasaan) dan kemampuan. Darar dalam mazhab ini bersifat luas, mencakup kerugian fisik, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, batasan waktu tidak kaku, namun jika penundaan telah menimbulkan kerugian pada istri, ia berhak menuntut faskh.
- Mazhab Syafi'i (Prioritas Iḍrār): Mazhab Syafi'i tidak menetapkan frekuensi minimal yang eksplisit dalam teks inti, tetapi sangat menekankan larangan iḍrār (penelantaran). Pendapat ulama Syafi'iyyah yang menyarankan sekali dalam empat malam didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dasar manusia dan penyelesaian perselisihan (sadd az-zari'ah — menutup celah kerusakan moral).
- Mazhab Hanbali (Asas Pembagian Waktu): Mazhab Hanbali memiliki pandangan paling tegas berdasarkan asas pembagian waktu, seolah-olah suami memiliki hak kunjung pada istri (meskipun memiliki satu istri). Ibn Qudamah dalam Al-Mughni mewajibkan suami bergaul setidaknya sekali dalam setiap empat malam (li kulli arba'a layālin), yang didukung oleh kutipan:
إِذَا كَانَتْ لَهُ امْرَأَة لَزِمَهُ الْمَبِيْت عِنْدَهَا لَيْلَة مِنْ كُلِّ أَرْبَع لَيَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ
“Dan wajib baginya (suami) untuk menginap bersamanya (istri), pada setiap empat malam sekali selama tidak memiliki uzur.” (Al-Mughni: 7/28)
🧠 JEMBATAN INTERDISIPLINER: PSIKOLOGI DAN MEDIS
A. Tinjauan Psikologi Klinis: Kerusakan pada Ikatan Emosional dan Identitas Diri
Penolakan nafkah batin adalah krisis psikologis yang merusak fondasi mawaddah wa rahmah. Penolakan seksual kronis (terutama tanpa komunikasi yang memadai) diinternalisasi oleh istri sebagai kegagalan personal, bukan sebagai masalah pasangan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme psikologis berikut:
- Disonansi Kognitif dan Harga Diri: Istri mulai mengalami disonansi kognitif—konflik antara pemahaman bahwa ia dicintai dan realitas penolakan fisik. Hal ini menyebabkan penurunan drastis harga diri dan citra diri. Penelitian menunjukkan bahwa:
"Penolakan seksual kronis sering diinternalisasi oleh pasangan yang menerima sebagai sinyal ketidaklayakan atau ketidakmenarikan, yang mengarah pada peningkatan gejala depresi dan kecemasan." (Jurnal Psikologi Klinis, 2020)
Akibatnya, timbul kecemasan berlebihan, kemarahan yang tidak tertangani (resentment), hingga depresi klinis. - Erosi Hormon Ikatan (Bonding): Keintiman fisik adalah trigger biologis utama untuk pelepasan Oksitosin dan Vasopresin dari kelenjar pituitari posterior. Kedua hormon ini esensial dalam membentuk ikatan pasangan (pair bonding). Fisher et al. (2002) menemukan:
"The hormone oxytocin is central to the formation of pair bonds and is associated with feelings of calm, attachment, and commitment."
(Hormon oksitosin adalah sentral dalam pembentukan ikatan pasangan dan diasosiasikan dengan perasaan tenang, keterikatan, dan komitmen). Kurangnya pelepasan oksitosin secara teratur secara harfiah menghambat pembentukan kembali ikatan emosional (re-bonding) yang diperlukan setelah konflik sehari-hari. Hubungan menjadi hampa, komunikasi terhenti, dan ikatan spiritual (rahmah) memudar. - Masalah Seksual Sekunder Suami: Penting untuk dicatat bahwa penolakan sering kali berakar pada masalah suami itu sendiri, seperti Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) atau gangguan gairah hipoaktif pada pria, disfungsi ereksi (DE), depresi, atau kecanduan pornografi. Tanpa bantuan profesional, suami cenderung menarik diri yang memperburuk isolasi emosional istri.
B. Implikasi Medis: Gangguan Fisiologis
Implikasi medis dari minimnya nafkah batin tidak dapat diabaikan, karena tubuh merespons kurangnya keintiman melalui mekanisme fisiologis:
- Sistem Kekebalan Tubuh: Keintiman yang sehat dan teratur telah dikaitkan dengan peningkatan respons imun tubuh. Studi imunologi menunjukkan bahwa:
"Regular sexual activity is positively correlated with higher levels of salivary Immunoglobulin A (IgA), suggesting a protective effect on the immune system."
(Aktivitas seksual yang teratur berkorelasi positif dengan kadar imunoglobulin A (IgA) saliva yang lebih tinggi, menunjukkan adanya efek perlindungan pada sistem kekebalan tubuh.) — (Jurnal Kesehatan, 2019).
IgA adalah antibodi garis depan, dan penurunan kadarnya dapat membuat individu lebih rentan terhadap infeksi ringan. - Kesehatan Vaskular dan Jantung: Aktivitas seksual yang teratur memiliki efek serupa dengan olahraga ringan, meningkatkan aliran darah dan kesehatan vaskular. Kurangnya aktivitas tersebut, dikombinasikan dengan stres kronis akibat ketidakpuasan, dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
- Disfungsi Seksual Sekunder pada Wanita: Dari sisi ginekologi, kurangnya rangsangan seksual rutin dapat menyebabkan keluhan fisik, terutama pada wanita pascamenopause. Prawirohardjo (2017) mencatat bahwa:
"Kurangnya gairah seksual dan hubungan seksual yang teratur dapat menyebabkan atrofi vagina dan berkurangnya elastisitas jaringan, terutama pada wanita pascamenopause, yang berpotensi meningkatkan ketidaknyamanan." Ini mengubah masalah emosional menjadi masalah fisik yang nyata.
🤲 PENUTUP
Nafkah batin adalah kewajiban syar'i yang tak terpisahkan dari tujuan pernikahan Islam. Tinjauan fikih empat mazhab menegaskan bahwa pemenuhan hak ini adalah wajib, dengan batas toleransi maksimum penelantaran berkisar antara tiga hingga empat bulan. Lebih dari itu, istri berhak mengajukan faskh karena alasan darar.
Secara interdisipliner, penolakan ini menimbulkan kerugian ganda: disfungsi psikologis (depresi, hancurnya bonding oksitosin) dan implikasi medis (penurunan imun, risiko masalah vaskular). Solusi masalah ini harus bersifat komprehensif, melibatkan edukasi agama, konseling psikologi, dan pemeriksaan medis. Memahami darar dari nafkah batin melalui lensa fikih dan sains adalah langkah krusial menuju penguatan keluarga muslim yang sakinah.
📚 REFERENSI:
- Al-Bukhari, M. ibn Ismā‘īl. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut, Lebanon: Dār Ṭawq al-Najāh.
- Al-Kasani. (2003). Bada'i' al-Sana'i' fi Tartib al-Syara'i'. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
- Darwis, R. (2021). Nafkah Batin Suami Istri Yang Tidak Terpenuhi. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 17(1), 51-68.
- Fisher, H. E., Aron, A., Mashek, D., Li, H., & Brown, L. L. (2002). Defining the Neural Systems of Romantic Love. Proceedings of the National Academy of Sciences, 99(14), 1144-1149.
- Ibn Qudamah. (2004). Al-Mughni. Dar 'Alam al-Kutub.
- Jurnal Kesehatan. (2019). "Correlation between Sexual Activity and Salivary IgA Levels".
- Jurnal Psikologi Klinis. (2020). "Sexual Rejection and Marital Dissatisfaction: A Clinical Study".
- Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
- Muslim, M. ibn al-Ḥajjāj. (2006). Ṣaḥīḥ Muslim. Riyadh: Dār as-Salām.
- Prawirohardjo, S. (2017). Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
✍️ Penulis:
Hanifa, B.A., M.Pd.
(Alumni Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia | Dosen Ma’had Aly Al Madinah Surakarta)