Pendahuluan
Sebagaimana Al-Fatihah disebut Ummul Kitab (induk Al-Qur’an) karena merangkum seluruh kandungan Al-Qur’an, maka Hadits Jibril juga dikenal sebagai Ummus Sunnah (induk hadits) karena memuat seluruh pokok ajaran Islam. Melalui pembahasan ini, kita akan menelusuri bagian pertama dari Hadits Jibril yang menjelaskan tentang Islam, sebagai pondasi awal perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan iman dan ihsan.
Teks dan Terjemah Hadits
Dari ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً
“Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan; dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melakukannya.”
Lelaki itu berkata, “Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya… (HR. Muslim, no. 8).
Konteks dan Keagungan Hadits Jibril
Hadits kedua dari Arba’in An-Nawawi ini diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits tersebut, malaikat Jibril datang dalam bentuk manusia untuk mengajarkan agama kepada para sahabat melalui tanya jawab langsung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata,
وَهَذَا الحَدِيثُ قَدْ اشْتَمَلَ عَلَى شَرْحِ جَمِيْعِ وَظَائِفِ العِبَادَاتِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ، مِنْ عُقُوْدِ الإِيْمَانِ، وَأَعْمَالِ الجَوَارِحِ، وَإِخْلَاصِ السَّرَائِرِ، وَالتَّحَفُّظِ مِنْ آفَاتِ الأَعْمَالِ، حَتَّى إِنَّ عُلُومَ الشَّرِيعَةِ كُلَّهَا رَاجِعَةٌ إِلَيْهِ، وَمُتَشَعِّبَةٌ مِنْهُ.
“Hadits ini mencakup penjelasan semua amal ibadah yang lahir maupun batin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan hati, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syariat, semuanya kembali kepada hadits ini dan bercabang darinya.” (Ikmal al-Mu’allim bi Fawa’id Muslim: 1/204-205).
Ibnu Rajab berkata,
وَهُوَ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا، يَشْتَمِلُ عَلَى شَرْحِ الدِّينِ كُلِّهِ، وَلِهٰذَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي آخِرِهِ: (هٰذَا جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ) بَعْدَ أَنْ شَرَحَ دَرَجَةَ الْإِسْلَامِ، وَدَرَجَةَ الْإِيمَانِ، وَدَرَجَةَ الْإِحْسَانِ، فَجَعَلَ ذٰلِكَ كُلَّهُ دِينًا.
“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, mencakup penjelasan seluruh ajaran agama (Islam). Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di akhir hadits tersebut: ‘Ini adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.’ Setelah beliau menjelaskan tingkatan Islam, tingkatan iman, dan tingkatan ihsan, maka beliau menjadikan semuanya itu sebagai bagian dari agama (Islam).” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 1/97).
Penjelasan Rukun Islam
Ketika Jibril bertanya: “Beritahukan kepadaku tentang Islam,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan Islam melalui lima rukun pokok. Kelimanya menjadi kerangka dasar ibadah dalam kehidupan seorang muslim:
1. Rukun Pertama: Syahadat
Rukun yang pertama adalah mengucapkan syahadat Laa ilaha illallah (tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah) dan Muhammad Rasulullah. Kedua syahadat tersebut digabungkan menjadi satu rukun karena konsekuensi Laa ilaha illallah adalah harus ikhlas dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti Rasulullah dalam beribadah). Dan keduanya merupakan syarat diterimanya ibadah.
Para ulama menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah harus memenuhi delapan syarat yang terkumpul dalam dua bait syair:
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلَاصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ ۞
مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالقَبُولِ لَهَا
وَزِيدَ ثُامِنُهَا الكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا ۞
سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
“Ilmu, keyakinan, keikhlasan, kejujuran disertai kecintaan, ketundukan, penerimaan, dan ditambahkan perkara yang kedelapan yaitu keingkaranmu terhadap semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah: 173–174).
Penjelasan syarat tersebut adalah:
- Ilmu. Bagi orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah harus mengetahui maknanya agar ucapan tersebut bermanfaat baginya. Adapun maknanya adalah menafikan seluruh bentuk peribadatan untuk selain Allah dan menetapkan ibadah tersebut hanya untuk Allah semata.
- Keyakinan. Yaitu meyakini kalimat tauhid ini dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan.
-
Ikhlas. Yaitu dengan membersihkan semua amalan dari berbagai bentuk kesyirikan yang tampak ataupun tersembunyi. Dia tidak mengucapkan kalimat tauhid tersebut karena ingin mendapatkan kenikmatan dunia, riya, ataupun sum’ah.
Baca juga artikel tentang ikhlas: Keikhlasan Niat: Pondasi Utama Segala Amal
- Jujur. Jujur dalam mengucapkannya dari lubuk hati yang paling dalam.
- Cinta. Cinta terhadap kalimat ini dan mencintai Allah, Rasul-Nya, agama Islam, dan kaum muslimin yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
- Tunduk. Tunduk terhadap konsekuensinya, yaitu dengan tunduk kepada syariat Allah, patuh terhadap hukum-Nya dengan ikhlas.
- Menerima. Menerima konsekuensi dari kalimat tauhid ini, yaitu hanya beribadah kepada Allah dan meninggalkan semua bentuk peribadatan kepada selain Allah.
- Berlepas diri dari kesyirikan. Seseorang belum dikatakan bertauhid sampai dia berlepas diri dari perbuatan syirik dan pelakunya.
Sebagian ulama hanya menyebutkan tujuh syarat saja dan mengatakan bahwa syarat yang kedelapan itu sudah tercakup dalam tujuh syarat sebelumnya.
Adapun syahadat bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah memiliki beberapa konsekuensi, di antaranya:
- Mengakui risalahnya dan meyakininya dalam hati.
- Mengikutinya, yaitu dengan melaksanakan kebenaran yang datang darinya dan meninggalkan semua yang beliau larang.
- Membenarkan semua yang beliau kabarkan berupa hal-hal gaib di zaman dulu atau yang akan datang.
- Mencintai beliau lebih dari diri sendiri, harta, anak, orang tua, dan seluruh manusia.
- Mendahulukan ucapan beliau dibandingkan siapa pun dan mengamalkan sunnahnya.
- Tidak berbuat bid’ah dalam agama Islam.
- Tidak meyakini bahwa Nabi memiliki sifat rububiyyah. Maka tidak boleh berdoa kepadanya atau meminta tolong kepada beliau kecuali ketika beliau masih hidup dan dalam perkara yang beliau mampu melaksanakannya.
2. Rukun Kedua: Shalat
Shalat lima waktu adalah kewajiban harian yang Allah tetapkan bagi setiap muslim. Ia disebut tiang agama karena kedudukannya yang sangat penting. Jika shalat ditegakkan, maka agama seseorang akan kuat. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi ancaman keras bagi orang yang meninggalkan shalat. Beliau bersabda,
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. Ibnu Majah, no. 1079; At-Tirmidzi, no. 2809; dan An-Nasa’i, no. 463).
3. Zakat
Zakat adalah kewajiban mengeluarkan sebagian harta tertentu ketika mencapai nishab dan haul.
- Tujuannya bukan hanya membantu fakir miskin, tetapi juga menyucikan harta dan membersihkan jiwa dari sifat kikir.
- Dengan zakat, Islam membangun keadilan sosial dan mempererat tali persaudaraan antara sesama muslim.
4. Puasa Ramadhan
Puasa dilakukan dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
- Puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi sarana melatih takwa, memperbaiki akhlak, dan menumbuhkan empati kepada orang yang membutuhkan.
- Bulan Ramadhan menjadi kesempatan besar bagi seorang muslim untuk membersihkan diri dan meraih ampunan.
5. Haji
Haji adalah ibadah menuju Baitullah di Makkah bagi yang mampu secara fisik, finansial, dan aman.
- Ibadah ini dilakukan sekali seumur hidup bagi yang memenuhi syarat.
- Haji mengajarkan kesetaraan, kerendahan hati, dan totalitas penghambaan kepada Allah melalui rangkaian manasik seperti thawaf, wukuf di Arafah, dan lainnya.
Makna “Islam” dalam Kehidupan Sehari-hari
Menjadi seorang muslim tidak hanya berarti menjalankan lima rukun Islam, tetapi juga hidup dalam ketaatan kepada Allah di seluruh aspek kehidupan. Islam bukan sekadar ritual, melainkan sistem hidup yang mencakup akhlak, muamalah, hingga tata sosial.
Seseorang yang benar-benar berislam akan terlihat dari ketundukan hatinya dan konsistensi amalnya, sebagaimana firman Allah:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُه عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112).
Penutup
Pembahasan tentang Islam dalam Hadits Jibril membuka kesadaran bahwa agama ini bukan hanya keyakinan, tetapi juga tindakan nyata dalam ibadah dan kehidupan sosial. Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Semoga kita termasuk orang-orang yang menjalankan Islam secara lahir dan batin, dengan penuh ketundukan dan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Referensi:
- Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. (2006). Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
- Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. (1964). Tafsir al-Qurthubi. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah.
- Al-Qusyairi, Muslim ibn al-Hajjaj. (1955). Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy.
- Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. (2004). Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah. Riyadh: Dar ats-Tsurayya.
- An-Nasa’i, Ahmad ibn Syu’aib. (2018). Sunan an-Nasa’i. Dar ar-Risalah al-Alamiyyah.
- An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. (2009). Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Beirut: Dar Al-Minhaj.
- At-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa. (2009). Sunan at-Tirmidzi. Dar ar-Risalah al-Alamiyyah.
- Ibnu Majah, Muhammad Yazid. (2014). Sunan Ibnu Majah. Jubail: Dar ash-Shiddiq.
- Ibnu Rajab, Abdurrahman ibn Syihabuddin. (1997). Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
- ‘Iyadh, Al-Qadhi. (1998). Ikmal al-Mu’allim bi Fawa’id Muslim. Mesir: Dar al-Wafa.
Penulis:
Agus Purwanto, B.A.
(Alumni LIPIA Jakarta. Pengajar pondok pesantren Al Madinah, Boyolali)